tirto.id - Sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2019, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memperoleh 19,33 persen suara nasional. Sebanyak 128 kadernya dikirim ke DPR.
Selain berhak mengirim Puan Maharani sebagai Ketua DPR, PDI-P juga menempatkan kadernya sebagai pemilik jabatan di setiap alat kelengkapan dewan (AKD) parlemen. Partai bergambar kepala banteng ini berhasil menempatkan tiga kadernya sebagai ketua komisi dan delapan kader lainnya sebagai wakil ketua komisi.
Tidak berhenti di situ, PDI-P juga mengirim kadernya sebagai wakil ketua di setiap AKD yang tersisa. AKD terdiri dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Badan Kerja Sama Antara Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Badan Legislasi (Baleg), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). PDI-P juga memasukkan kadernya ke Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pemilihan AKD memang didasarkan pada sistem proporsional. Dengan begitu, partai yang menjadi pemenang pemilu bisa berkuasa, namun harus membagi-bagi jabatan juga ke partai yang suaranya kecil.
Berdasar UU MD3 sebelum revisi, partai yang menang pemilu belum tentu mendapat banyak jabatan pimpinan. Ada sistem paket yang ditawarkan oleh masing-masing partai koalisi di parlemen sehingga memungkinkan partai dengan suara sedikit juga mendapat jabatan strategis.
Pada 2014, periode parlemen sebelumnya, PDI-P dan PKB yang merupakan partai pendukung Jokowi, justru tak banyak menguasai AKD. Mereka hanya mendapatkan posisi wakil ketua komisi.
Masing-Masing Kepentingan AKD
Tiap partai menerima komposisi parlemen tersebut. Menurut PDI-P, pembagian itu memang sesuai. Berdasar hitungan proporsional partai banteng, yang penting posisi ketua paling banyak tetap diambil oleh PDI-P. Kendati harus membagi jatah kepada oposisi, PDI-P malah tidak keberatan. PDI-P nampaknya sudah berkaca dari pengalamannya sebagai oposisi pada periode lalu.
“Yang terjadi lima tahun lalu itu, saya berharap dalam proses demokrasi kepemimpinan ataupun proses DPR yang sekarang ini, saya berharap tidak terjadi lagi,” kata Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Setelah pembagian jatah jelas, setiap fraksi partai menentukan AKD mana yang ingin mereka ambil. PDI-P memilih untuk tidak memonopoli jabatan ketua, tetapi menempatkan kadernya di setiap AKD. Mulai dari Komisi I hingga Badan Anggaran, Badan Musyawarah dan Badan Legislasi.
Dengan begitu, PDI-P selalu ikut dalam pengambilan keputusan yang dibuat AKD sebagai pimpinan. Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, PDI-P sebagai partai pemenang memang menjaga kekuasaannya. Dengan menguasai seluruh bagian AKD, nantinya dia berpeluang menjaga sinkronisasi antara pemerintah dan DPR dalam menetapkan satu kebijakan.
“Pemerintah didukung mayoritas parlemen. Memang esensi pemilu serentak,” kata Lucius kepada Tirto, Selasa (5/11/2019).
Meski dominasi PDI-P menjadi pasti, bukan berarti pemerintahan bisa berjalan lancar.
Tiap partai punya agenda sendiri untuk memenuhi kepentingannya dalam lima tahun ke depan. Termasuk Golkar. Di antara 10 Wakil Ketua dan tiga Ketua AKD yang didapat Golkar, ada satu yang sangat diincar partai berlambang pohon beringin tersebut, yakni Komisi II.
Menjadi Ketua Komisi II yang erat hubungannya dengan pemilihan umum dan kependudukan, menurut Lucius, Golkar akan mudah mencari strategi pemenangan di pemilihan kepala daerah (Pilkada 2020) mendatang. Untuk target jangka panjang, mereka juga bisa berusaha memuluskan kemenangan di 2024.
Golkar secara terbuka juga mengakui tengah mengincar posisi di Komisi II. Targetnya tak lain dan tak bukan adalah penyempurnaan UU Pemilu untuk penempatan kepala daerah dan kepala pemerintahan. Meski harus bersaing dengan PPP, Golkar akhirnya mendapat jabatan pimpinan Komisi II berdasar proses musyawarah.
“Kami berupaya seoptimal mungkin dengan target 55 hingga 60 persen. Kami berharap target itu bisa tercapai,” kata Sekretaris Jenderal Golkar, Lodewijk F. Paulus hari Kamis (24/10/2019) seperti dilansir Kompas.
Gerindra mengambil langkah berbeda dengan Golkar yang berniat menguasai komisi tertentu. Partai yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu justru merelakan posisi ketua komisi apa pun dan mengambil posisi Ketua Badan Legislasi dan Badan Kerja Sama Antara Parlemen (BKSAP).
“Ini kan soal pilihan, kita bisa saja dapat kursi ketua komisi, tapi pimpinan memutuskan untuk memilih Ketua Baleg yang merupakan jantung DPR. Kami bersyukur,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra, Andre Rosiade hari Senin (21/10/2019) seperti dilansir Detik.
Dalam tugas dan fungsi Baleg, salah satu yang harus dilakukan oleh AKD tersebut adalah merumuskan program legislasi nasional (Prolegnas) untuk 2020-2024 mendatang. Prolegnas adalah daftar RUU yang diutamakan dan sebisa mungkin harus dibahas dan diselesikan oleh DPR periode terkait.
Tidak salah jika Gerindra menyebut Baleg sebagai jantung DPR. Sekarang pemerintah juga harus bekerja sama dengan Baleg yang dipimpin Gerindra, mantan oposisinya di pilpres 2019.
Bagi Lucius Karus, ada beberapa regulasi yang mungkin menjadi fokus Gerindra untuk disahkan. Ada agenda tersendiri dari Gerindra yang mungkin belum bisa terlihat sekarang. Namun, posisi ini bisa membatasi gerak pemerintah di Prolegnas--jika Gerindra kembali lagi jadi oposisi.
“Ada perjuangan Gerindra di legislasi tertentu yang membuat mereka mengincar baleg. Dia punya peran strategis,” ucapnya lagi.
Oposisi Bisa Bertahan?
PAN, Demokrat, dan PKS sama-sama mendapat jabatan penting sebagai pimpinan MKD. Memang hanya PAN yang mendapat kursi ketua komisi, sedangkan yang lainnya hanya wakil ketua. Namun, ini lebih baik daripada tak mendapat apa-apa.
Sampai sekarang hanya PKS yang menegaskan diri sebagai oposisi. PAN dan Demokrat ambil sikap abu-abu. Jika menilik posisi PKS di AKD, mereka hanya mendapat posisi ketua di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Tugas dan fungsi MKD adalah mengawasi pelanggaran etik dan pidana anggota termasuk kedisiplinan anggota DPR.
Selama ini, belum ada keputusan MKD yang signifikan dalam menindak pelanggaran anggota DPR, apalagi untuk memperlemah koalisi partai pemenang pemilu, hal itu agaknya terlalu mengawang-awang.
Justru dengan sistem UU MD3 yang baru dan gemuknya koalisi Jokowi, oposisi cenderung mati angin di parlemen. Apalagi, tiga partai perolehan suara terbesar di pileg kemarin adalah pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin, yakni PDI-P, Golkar, dan Gerindra.
“Itu yang saya bilang sesungguhnya semuanya seragam ini. Tidak ada oposisi,” ujar Lucius.
Namun meski PKS sendirian sebagai oposisi, bukan berarti pemerintahan Jokowi akan aman ke depan dalam membuat kebijakan. Presiden bisa saja membuat keputusan yang berbeda dengan kepentingan partai dan mendapat penolakan dari parlemen, termasuk PDI-P.
Dalam Problem of Democratisastion in Indonesia: Elections, Institutions, and Society (2010) yang disusun peneliti dari Universitas Nasional Australia, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, konsultan politik Australia Stephen Sherlock mencatat peluang oposisi untuk mengkritisi pemerintahan masih cukup besar.
Peluang itu didapat karena setiap keputusan bukan saja bergantung pada koalisi dan oposisi, tapi apa yang bisa menjadi keuntungan bagi partai politik. Dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di 2004 dan 2009, presiden keenam Indonesia utu juga tidak mudah mengambil keputusan di DPR karena muncul penolakan dari dalam koalisi, misalnya oleh PPP, selain juga dari PDI-P sebagai oposisi.
“Mengingat adanya kepentingan partai itu, maka koalisi di DPR tidak ada yang bersifat tetap, baik yang mendukung pemerintahan, atau sebaliknya,” tulis Sherlock.
Dalam buku Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, Pendiri Poltracking Indonesia (2010) Hanta Yuda A.R mencatat, koalisi yang solid sangat sulit muncul karena perpaduan antara sistem presidensialisme dan multi-partai di Indonesia.
Dalam presidensialisme, presiden memilih sendiri orang-orang untuk kabinetnya. Meski ada perwakilan dari partai, belum tentu mereka memberikan dukungan 100 persen.
“Hal itu lebih merupakan ikatan individual antara presiden dan menteri tersebut, tanpa mengikat komitmen yang lebih permanen dengan partai politik asalnya,” kata Hanta. Berpalingnya PAN dari koalisi Jokowi di Pilpres 2019 sudah membuktikannya.
Editor: Windu Jusuf