tirto.id - Kuasa Hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi mengklaim Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru atas kasus korupsi proyek e-KTP, yang ditujukan ke kliennya, dan baru-baru ini bocor ke media, merupakan hoax.
Menurutnya, SPDP itu bersifat rahasia dan tidak bisa disebar secara sembarangan. Penyidik KPK hanya memberikan SPDP kepada Jaksa Penuntut Umum dan tembusannya kepada tersangka.
"Saya tanya Pak SN (Setya Novanto), dia bilang juga belum terima. Maka, saya berasumsi bahwa itu hoax. Tidak benar," kata Fredrich di kantornya, Gandaria, Jakarta pada Selasa (7/11/2017).
Keyakinannya bahwa surat itu hoax juga berdasarkan pernyataan Jubir KPK Febri Diansyah yang belum mengonfirmasi keberadaan SPDP tersebut. "Yang jelas bahwa beredarnya copy yang seolah-olah SPDP itu tidak benar. Dan saya terimakasih kepada jubirnya KPK (Febri Diansyah) telah mengklarifikasi," kata Fredrich.
Dalam hal ini, Fredrich juga menilai ada pihak yang sengaja ingin membenturkannya dengan KPK melalui bocornya SPDP tersebut.
"Ini adalah upaya yang meleparkan batu pada kolam air, ingin mengakibatkan seolah kegaduhan dalam masyarakat. Seolah-olah, saya sebagai kuasa hukum ingin dibenturkan dengan KPK," kata Fredrich.
Pengacara Setyo Novanto Pidanakan KPK Bila Kliennya Jadi Tersangka
Namun, Fredrich menyatakan pihaknya tidak segan untuk menuntut KPK ke ranah hukum bila suatu saat informasi dalam SPDP tersebut dibenarkan oleh Komisi Antirasuah. Fredrich beralasan dalam putusan sidang praperadilan Novanto di PN Jaksel 29 September lalu telah jelas menyatakan KPK dilarang melakukan penyidikan dalam kasus yang sama.
"Saya tidak akan segan-segan, saya akan jerat dengan pasal 216 KUHP, 421 KUHP, junto Pasal 23 UU 31/99, saya jerat lagi 414 KUHP yang intinya barang siapa melawan penegakan atau pelaksanaan hukum maka dia akan dipenjara 1 tahun 6 bulan," kata Fredrich.
Menurut Fredrich, bila KPK membenarkan SPDP tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi lembaga antirasuah itu karena memicu ketidakpastian hukum.
"Itu kan justru bakal jadi preseden buruk buat masyarakat. Berarti apa? Kita punya hukum, hukum karet. Tau gak karet? Ditarik, tutup, tarik lagi, gak selesai-selesai. Undang-undang dasar berarti harus diubah. Tidak ada kepastian hukum jadikan jadi hukum itu suka-suka," kata Fredrich.
Dia mengimbuhkan KPK bisa dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) apabila membenarkan isi SPDP tersebut. Sebab, KPK membatasi kebebasan seseorang dengan keputusan hukum tidak jelas.
"Ini kan melanggar HAM. Bisa saya bawa ke Den Hague," kata Fredrich.
Sampai saat ini memang belum ada pembenaran resmi dari KPK terkait SPDP ini. Namun, sumber di internal KPK telah membenarkan penerbitan SPDP tersebut saat dikonfirmasi Tirto.
Tapi, pembenaran dari sumber KPK itu tidak diterima oleh Fredrich. "Yang berhak mewakili institusi itu jubir. Mau Deputi direktur tidak berhak. Jadi saya tetap percaya sama saudara Febri. Apapun, ini kan katanya, saya tidak peduli. Karena Febri telah menyatakan secara resmi," kata Fredrich.
Pada Senin kemarin, beredar foto surat dengan kop dan cap KPK bernomor B-619/23/11/2017 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan tertanggal 3 November 2017. SPDP itu ditujukan kepada tersangka atas nama Setya Novanto yang beralamat di Jalan Wijaya XIII No. 19, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Di dalam surat, yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman, itu disebutkan bahwa mulai Selasa, 31 Oktober 2017 telah dimulai penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP elektronik) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri yang diduga dilakukan Setya Novanto bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto dan kawan-kawan.
Terkait beredarnya bocoran SPDP ini, KPK memang tidak memberikan tanggapan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah, hari ini, hanya membenarkan ada Sprindik baru kasus e-KTP yang terbit akhir bulan lalu. KPK masih mencari waktu yang tepat untuk mengumumkan tersangka di Sprindik itu.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom