Menuju konten utama
HAM Berat Masa Lalu

KSP Sebut Penyelesaian Yudisial & Non-Yudisial Saling Melengkapi

Jaleswari sebut jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan.

KSP Sebut Penyelesaian Yudisial & Non-Yudisial Saling Melengkapi
Kepala Staf Presiden, Moeldoko (kiri) dan Deputi V Bidang Polhukam dan HAM KSP, Jaleswari (kanan) di Kantor Staf Presiden. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodawardhani menegaskan bahwa langkah penerbitan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang ditandatangani Presiden Jokowi tidak berarti menghilangkan upaya penegakan hukum (upaya yudisial) pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia menegaskan keberadaan tim saling beriringan dalam penyelesaian kasus HAM berat.

“Jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh," kata Jaleswari dalam keterangan yang dikutip, Minggu (21/8/2022).

Jaleswari menerangkan, ada 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM. Dari 13 peristiwa tersebut, 9 peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu (terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM), yaitu; 1) Peristiwa 1965/1966; 2) Peristiwa Penembakan Misterius 1983-1984; 3) Peristiwa Talangsari 1989; 4) Peristiwa Mei 1998; 5) Peristiwa Penghilangan Paksa 1997/1998; 6) Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; 7) Peristiwa Dukun Santet 1999; 8) Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; 9) Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.

Empat (4) peristiwa yang lain terjadi setelah tahun 2000 yaitu, 1) Peristiwa Wasior 2001; 2) Peristiwa Wamena 2003; 3) Peristiwa Jambo Keupok 2003; dan 4) Peristiwa Paniai 2014.

Ke-13 kasus tersebut memiliki rentang waktu dan masalah yang luas. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, penyelesaian HAM berat dilakukan secara yudisial dan non-yudisial. Dalam cara yudisial, pemerintah berpegang pada UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sementara jalur non yudisial dapat turut diintervensi melalui produk eksekutif.

“Namun demikian, kedua jalur tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya dapat dijalankan secara paralel," kata Jaleswari.

Jaleswari menuturkan, perbedaan mekanisme yudisial dan non-yudisial. Mekanisme yudisial lebih berorientasi pada keadilan retributif, sementara mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered).

Mekanisme ini lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban seperti 1) hak untuk mengetahui kebenaran, 2) hak atas keadilan, 3) hak atas pemulihan, 4) hak atas kepuasan.

Selain itu, mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi dan lain sebagainya.

Di saat yang sama, Jaleswari menegaskan bahwa pembentukan tim penyelesaian non-yudisial HAM berat adalah bukti komitmen Jokowi dalam penyelesaian HAM berat sejak menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2014 lalu.

Jokowi memerintahkan untuk pelanjutan proses melalui pengadilan (yudisial) dengan memerintahkan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM bekerja memenuhi unsur-unsur dan proses hukum.

Paralel dengan proses yudisial yang berlangsung, mantan Walikota Solo juga memberikan arahan perlunya penyelesaian di luar pengadilan (non-yudisial) yang lebih berorientasi pada perlindungan dan rehabilitasi hak korban dan keluarga korban.

Ia pun sudah bertemu korban pelanggaran HAM berat pada 9 Desember 2014 saat hari HAM sedunia. Kemudian, pada 2015 juga sempat digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran.

Pada 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional di 2016, tetapi mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan.

Pada 2018, Jokowi kembali bertemu dengan korban pelanggaran HAM berat dan mendengarkan aspirasi mereka.

Pemerintah juga memulai pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006.

Kini, pemerintah memulai pembentukan tim penyelesaian non-yudisial selain penegakan hukum kasus Paniai tahun 2014.

“Pernyataan Presiden bahwa Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu sudah ditandatangani ini merupakan komitmen serius presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana dinyatakan dalam Nawa Cita, RPJMN dan dokumen resmi lainnya," kata Jaleswari.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM MASA LALU atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz