Menuju konten utama

KSP: Hukum Indonesia Tak Mendukung Pemulihan Korban Kekerasan Agama

"Perusakan rumah ibadah, penyerobotan properti, pemerintah memang harus punya tanggung jawab mengembalikan itu," kata Ifdhal Kasim.

KSP: Hukum Indonesia Tak Mendukung Pemulihan Korban Kekerasan Agama
Spanduk berisi penolakan dan tanda tangan warga terhadap Jamaah Ahmadiyah di Masjid Jamaah Ahamdiyah Sawangan, Depok, Jawa Barat, Jum,at, (24/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim menilai salah satu faktor sulitnya pemulihan korban tindak kekerasan berbasis agama dikarenakan sistem hukum Indonesia yang belum jelas. Ia menilai hukum Indonesia masih "remang-remang" dalam menjamin pemulihan korban.

"Pengadilan kita juga tidak memberikan kontribusi besar dalam pemulihan dan memberikan hak korban kekerasan atas nama agama. Sistem judicial review tidak memberikan respons apapun. Korban justru ditempatkan sebagai terdakwa atau tersangka. Ada yang masih remang-remang dalam pemulihan korban" kata Ifdhal pada Senin (3/9/2018) siang.

Ifdhal menilai intervensi pemerintah pusat dalam pemulihan korban tindak kekerasan masih sangat diperlukan. "Perusakan rumah ibadah, penyerobotan properti, pemerintah memang harus punya tanggung jawab mengembalikan itu," katanya.

Menurut dia, hal tersebut terjadi karena pemerintah hanya bergerak sampai pada tataran tanggap darurat saat terjadi kekerasan berbasis agama dan belum sampai pada perencanaan pemulihan yang terpadu dan sistematis. "Namun intervensi hanya menjawab problem darurat saja, belum masuk ke wilayah yang akarnya," lanjutnya.

Ifdhal memberikan komentar tersebut terkait dengan tantangan pemerintah guna pemulihan korban tindakan kekerasan dan persekusi berbasis agama yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Komnas HAM dan Human Rights Working Group (HRWG) telah menerbitkan laporan penelitian berjudul Pemulihan Hak Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Studi Penanganan Pengungsi JAI NTB, Syiah Sampang, dan Eks-Gafatar (2018).

Laporan tersebut melampirkan beberapa tindak kekerasan berbasis agama di Indonesia yang belum juga terpenuhi hak korban dan proses pemulihannya. Penelitian tersebut berfokus pada kasus kekerasan terhadap jemaah Ahamdiyah di NTB sejak 2005, kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang, Madura, pada 2011, dan dan persekusi kelompok eks-Gafatar di Kalimantan Barat beberapa tahun silam.

Ifdhal menegaskan bahwa pemerintah pusat harus memastikan beberapa komunitas yang menjadi korban kekerasan berbasis agama mendapat kehidupan yang layak seperti warga negara yang lain.

Baca juga artikel terkait PERSEKUSI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Alexander Haryanto