tirto.id - Kasus publikasi 'cerpen LGBT' yang dirilis pers mahasiswa Suara USU, Universitas Sumatera Utara, memasuki babak baru. Seluruh awak redaksi dipecat dari kepengurusan, setelah sebelumnya situs mereka suarausu.co, sempat disuspensi--yang menurut keterangan tertulis dari redaksi dilakukan oleh pembuat web Sanger Production, atas sepengetahuan rektor.
Pemimpin Umum Suara USU Yael Stefani Sinaga mengatakan kalau ia dan 16 anggota redaksi bertemu rektorat Senin kemarin (25/3/2018) pagi, pukul 09.00.
"Mereka mempertanyakan kenapa kami bisa mempublikasikan cerpen-cerpen porno dan berbau LGBT. Mereka menilai imajinasi redaksi Suara USU berlebihan. Cerpen harus ada etika dan ketentuan-ketentuannya. Tapi enggak kasih tahu ketentuan dari mana. Dia [rektor] bilang enggak pantas buat cerpen seperti itu di kalangan akademis," kata Yael, mahasiswi jurusan Antropologi Sosial, semester enam, saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (26/3/2019) pagi.
Sebelum pertemuan dimulai, seluruh anggota Suara USU sempat diminta mengumpulkan gawai. Selama rapat, gawai tak boleh dipakai.
Namun Pemimpin Redaksi Suara USU Widya Hastuti protes kepada Rektor USU Runtung Sitepu, yang juga datang dalam rapat.
"Kenapa mesti dikumpulkan? Landasannya apa, pak?," kata Widya, sepenuturan Yael.
"Kalian dengar saja suruhan kami. Kami orangtua kalian. Kalian baru semester berapa sudah melawan," balas Runtung, juga sepenuturan Yael.
Akhirnya disepakati gawai cukup dimasukkan ke tas masing-masing dan tas dikumpulkan di satu tempat. Tak boleh diambil selama rapat.
"Bahkan kantong kami pun diperiksa, dipastikan enggak ada HP yang disimpan. Diperiksa dengan ketat, pokoknya harus steril," kata Yael.
Keputusan rektor hari itu: memberhentikan alias memecat seluruh redaksi Suara USU. Kendati demikian, organisasi tetap berjalan, dengan diisi orang-orang baru yang disebut bisa "mempublikasikan konten-konten yang membangun".
Setelah rapat, kata Yael, Runtung bertanya ke seluruh awak redaksi soal jurusan masing-masing.
Meski dipecat, Yael, juga anggota yang lain, tetap keras kepala. Mereka bahkan berencana mengundang sastrawan, ahli bahasa, juga rektorat untuk diskusi terbuka soal cerpen yang dimasalahkan, yang judulnya Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya (meski saat ini situsnya telah pulih dengan hosting baru, namun cerpen yang dipermasalahkan tetap belum dipublikasikan).
"Langkah berikutnya, rencananya kami mau undang sastrawan, ahli bahasa, dan tentunya pihak rektorat, untuk diskusi terbuka mengenai cerpen kita," katanya.
Sanggahan-Sanggahan Rektor
Rektor USU Runtung Sitepu membenarkan kalau dia memang memecat seluruh anggota redaksi Suara USU. Keputusan itu diambil karena para anggota Suara USU tak menyesal telah menerbitkan cerpen tersebut.
Runtung juga berkata, jika ingin mempublikasikan cerpen seperti itu, seharusnya mereka mencari media lain, bukan di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada di bawah naungan dan dibiayai duit kampus.
"Di USU ada moral, etika, dan agama. Cerpen itu tak pantas dimuat di kampus USU. Tak sesuai dengan visi dan misi USU yang telah diterjemahkan menjadi Renstra," kata Runtung saat dihubungi reporter Tirto, Selasa pagi.
Ia menilai cerpen yang dipublikasikan Suara USU terlalu vulgar dan berbahaya.
"Memang betul, kami tak bisa membatasi karya seseorang, tapi perhatikan juga di mana dipublikasikannya. Atas nama Suara USU. Menggunakan nama USU. Kalau dikumpulkan seluruh alumni USU dan Suara USU, pasti tak akan setuju. Karena ada konten pornografi. Ini semua untuk nama baik USU," katanya defensif.
Runtung juga menanggapi pendapat banyaknya pihak yang menilai pemecatan dan reorganisasi redaksi sebagai bentuk intervensi pers.
"Suara USU itu Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada SK Rektor. Masak itu disebut intervensi? Nanti kalau AD/ART organisasi mereka berisi macam-macam, bagaimana? AJI [Aliansi Jurnalis Independen] jangan mengurusi kayak gini. Ini UKM, urusannya kampus USU. Ini bukan pers mahasiswa, tapi UKM," katanya.
Ia juga menilai, pihak-pihak yang mendukung Suara USU atas nama kebebasan berekspresi dan menganggap cerpen tersebut merupakan hal yang biasa adalah orang yang harus belajar moral dan etika terlebih dahulu.
Saat pertemuan dengan redaksi Suara USU, Runtung mengaku mengundang ahli bahasa, Kepala Program Studi Sastra Indonesia FIB USU, hingga pembina Suara USU sendiri yang mengatakan bahwa cerpen tersebut sudah berlebihan.
"Sejak kasus cerpen itu, saya sudah ditelepon banyak orang. Mahasiswa luar USU banyak yang bertanya. Pemerintah Mahasiswa (semacam BEM) USU juga katanya mau geruduk Suara USU, cuma saya larang."
Dalam pernyataan sikap yang diterima redaksi Tirto, Suara USU mengatakan bukan kali ini saja mereka mengangkat isu seksualitas. Tahun 2010, Suara USU pernah membuat laporan mengenai fenomena transgender di Medan, juga 2013 ketika menerbitkan laporan diskriminasi LGBT di kampus,
Namun dari dua kasus ini, tak pernah sekalipun rektorat mempermasalahkannya.
Soal ini, Runtung mengaku peringatan di zamannya menjabat hanya bentuk kepedulian terhadap awak redaksi Suara USU itu sendiri. Runtung jadi rektor dari 2016 hingga 2021.
"Kalau ada rektor menganggap biasa saja, pemimpin itu enggak peduli. Kalau diam, mungkin rektor tidur, tidak menjalankan amanat. Masa lalu, saya enggak tahu. Masing-masing kepemimpinan beda-beda."
Ia juga membenarkan arahannya kepada awak redaksi Suara USU agar menyimpan ponsel dengan tujuan tak ada siapa pun yang merekam.
"Betul. Diletakkan di depan tempat rapat. Dan itu adalah untuk menjaga nama baik USU. Jangan dulu dunia luar tahu kasus ini. Kan kadang-kadang ada anak jahat yang entah tiba-tiba kirim ke online, ke mana-mana," kata Runtung.
"Kalau direkam, mereka masih emosional dan masih muda, takutnya gegabah tersebar. Etikanya masih perlu dididik," lanjutnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa Suara USU tak pernah meliput mahasiswa-mahasiswa berprestasi yang membikin nama kampus baik (meski soal ini tak sepenuhnya benar). Justru yang dilakukan adalah menerbitkan cerpen yang, kata Runtung, mencoreng nama USU.
"17 orang ini mencoreng nama USU. Oleh karena itu secepatnya kami pecat, kami bentuk panitia, dan merekrut anggota baru. Awalnya mau saya bubarkan, tapi saya berpikir dan sadar Suara USU memiliki banyak alumni yang bagus," katanya.
"Saya tidak menjatuhkan sanksi akademik ke anggota-anggota redaksi. Dan juga tidak membubarkan redaksi Suara USU. Ini untuk kepentingan Suara USU ke depannya. Ini amanah sebagai rektor," lanjutnya.
Dikritik Banyak Pihak
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan menyesalkan tindakan rektor yang memecat para anggota redaksi Suara USU. Ia menilai hal tersebut menjadi paradoks karena terjadi di lindungan yang seharusnya menjunjung kebebasan berekspresi dan mimbar akademis.
"Agak memprihatinkan sikap rektor seperti itu, yang menyelesaikan ketidaksetujuan terhadap konten persma dengan cara memecat. Karena ini agak ironis dilakukan oleh lembaga akademis," katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin juga menilai hal serupa. Ia berpendapat apa yang dilakukan rektor adalah intervensi pihak luar terhadap ruang redaksi. Dan itu sudah terlalu jauh.
"Bahkan lebih jauh lagi bisa saja dianggap sebagai sensor atas Suara USU itu sendiri. Hal seperti menurut saya tidak baik untuk iklim kebebasan pers di Indonesia khususnya pers kampus. Efek ke depannya jika hal ini dianggap lumrah oleh publik atau kampus, maka kita akan melihat kasus-kasus serupa," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino