tirto.id - Ribuan mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil tumpah ruah di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang dekat dengan gerbang utama Gedung DPR RI, Selasa (24/9/2019) kemarin. Mereka menyatakan "tidak sepakat" dan mengeluarkan Mosi Tidak Percaya terhadap legislatif, juga eksekutif, yang membikin sejumlah peraturan yang dianggap bermasalah.
Saking banyaknya yang turun aksi, seorang demonstran non-mahasiswa, bekerja sebagai pegawai negeri, mengaku kepada reporter Tirto kalau "berjalan saja sulit" saat dia hendak ke toilet paling dekat.
Demonstrasi berlangsung biasa-biasa saja dari pagi hingga sore hari. Massa berteriak "hidup mahasiswa" berkali-kali untuk menjawab salam orator di atas mobil komando. Yel-yel juga terdengar. Mereka juga mengangkat tinggi-tinggi poster-poster tuntutan--yang isinya kadang lucu dan lantas viral.
Semua berubah menjelang pukul 5 sore.
Beberapa mahasiswa naik ke pagar gedung DPR yang terbuat dari besi dan menggoyang-goyangkannya. Mereka lalu menyanyikan yel-yel: "buka, buka, buka pintunya; buka pintunya sekarang juga."
Pantauan reporter Tirto di lapangan, beberapa dari mereka melempari halaman gedung dewan dengan botol air mineral. Lainnya melarang karena khawatir botol malah mengenai mahasiswa yang ada di barisan lebih depan.
Polisi lantas mulai menyirami demonstran dengan air dari water cannon. Gas air mata juga dilontarkan. Gas air mata kembali muntah sekitar pukul 16.22, ketika ruas pagar DPR sukses dijebol.
Ada yang mundur, ada pula yang memilih bertahan.
Saat itu polisi berpakaian lengkap--seragam anti huru-hara--mulai maju. Mereka mendorong mahasiswa agar menjauhi gedung.
Di sisi dalam, Ketua DPR Bambang Soesatyo dan sejumlah perwakilan fraksi tidak jadi menemui para pengunjuk rasa karena gas air mata membikin mata perih. Bamsoet, seperti mahasiswa, mengolesi odol di bawah matanya--trik yang dipercaya dapat mengurangi efek gas air mata.
Massa dipukul mundur hingga flyover Ladokgi. Ada pula yang memilih pindah ke Tol Dalam Kota.
Bentrokan tidak seimbang ini terus berlangsung hingga jelang magrib. Seorang demonstran, mengenakan almamater merah, mengatakan: "berhenti woy [bentroknya]. Azan magrib. Berhenti dulu." "Kita salat magrib dulu. Nanti kita bentrok lagi sama aparat," tambahnya.
Bentrok benar-benar kembali terjadi kira-kira pukul 18.30. Demonstran yang berada di dalam ruas Jalan Tol Dalam Kota kembali melempari batu dan botol air mineral ke arah polisi yang ada di Jalan Gatot Subroto. Polisi, di sisi lain, juga menembaki mereka dengan gas air mata.
Bentrokan tidak hanya terjadi di titik ini. Ada pula kericuhan di titik lain, misalnya di belakang Gedung DPR dan Stasiun Palmerah.
Ada pula yang memilih mengungsi. Misalnya 1.000-an mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI). Mereka rehat sebelum balik kanan di kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Beberapa dari mereka pingsan karena terus-menerus menghirup gas air mata dan tidak terbiasa.
Kericuhan terjadi sampai malam. Sekitar pukul 20.40 WIB, massa--yang jumlahnya semakin menyusut--sempat dipukul mundur oleh aparat yang menembakkan gas air mata dari dalam Kompleks Parlemen. Mereka lantas membalasnya dengan lemparan batu.
Malam itu adalah arena unjuk kekuatan para demonstran dan aparat. Jalan Gatot Subroto berantakan. Coretan dinding ada di mana-mana.
Pantauan reporter Tirto di lapangan, sejumlah titik api juga muncul. Bus dan sepeda motor juga terpantau terbakar. Kerangkanya masih teronggok di tempat yang sama hingga Rabu (25/9/2019) pagi.
Kericuhan berakhir menjelang tengah malam, saat mahasiswa berdialog dengan polisi dan TNI. Mereka memutuskan membubarkan diri.
Tapi sebagian dari mereka tidak bisa pulang langsung ke rumah atau tempat tinggal masing-masing. Berdasarkan keterangan sejumlah pihak, beberapa tempat seperti Kantor LBH Jakarta dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dijadikan tempat penampungan sementara.
Para relawan sigap mengantarkan makanan kepada mahasiswa. Sebelumnya, musisi Ananda Badudu mengumpulkan dana publik untuk keperluan-keperluan seperti ini. Duit yang terkumpul mencapai ratusan juta.
Korban dan Dampak Demonstrasi
Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, ada 254 mahasiswa yang sempat dirawat di beberapa rumah sakit karena kericuhan ini. Di kantornya di Jakarta, Rabu (25/9/2019), Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono mengatakan 11 di antaranya dirawat inap.
"Dokter masih mendalami kenapa yang bersangkutan [dirawat inap]. Pak Kabid Humas [Argo Yuwono] juga akan melihat ke rumah sakit," kata Gatot.
Gatot mengatakan kemungkinan besar korban yang hanya rawat jalan terkena gas air mata.
Salah satu rumah sakit yang menampung para mahasiswa itu adalah Rumah Sakit Pusat Pertamina. Per kemarin hingga pukul 20.30 WIB, ada 76 mahasiswa yang dirawat. Ini terpampang di papan pengumuman rumah sakit.
Ada pula yang dirawat di RS Mintohardjo.
Sejauh ini belum ada informasi soal korban jiwa, seperti yang dinyatakan pula oleh Gatot.
Meski begitu, ada beberapa mahasiswa yang terluka fisik parah. Salah satunya mahasiswa jurusan hukum Universitas Al Azhar bernama Faisal Amir (21). Dia dirawat intensif di RS Pelni.
Berdasarkan keterangan kakak Faisal, Rahmat, kepala adiknya harus dioperasi dan juga di bahu kanan. Menurutnya, berdasarkan keterangan dokter, tengkorak kepala adiknya retak. Juga ada pendarahan di daerah tersebut karena hantaman benda tumpul.
Ada pula seorang korban non-sipil yang terkena lemparan batu di daerah kepala. Ini terjadi saat bentrok antara mahasiswa-polisi pertama kali pecah, sore hari. Seorang saksi mata mengatakan pelempar batu adalah polisi yang ada di belakang gerbang DPR yang dekat dengan JPO.
Dari pihak polisi, ada 39 orang terluka, kata Gatot. Kerugian lain termasuk satu water canon yang hancur dirusak mahasiswa, juga tiga pos di daerah Palmerah, Slipi, dan belakang DPR yang disebut dibakar massa.
Ada juga 17 orang yang diduga pelaku ricuh, tepatnya kasus perusakan dan pembakaran pos polisi. Mereka ditangkap Polres Jakarta Barat dan rata-rata masih di bawah umur. Memang, pantauan reporter Tirto, semakin malam semakin banyak non-mahasiswa ikut-ikutan ricuh.
Dalam penangkapan itu polisi juga menyita sejumlah barang bukti seperti molotov, gir, batu, dan petasan.
Tujuan mahasiswa sendiri tidak bisa dibilang tercapai, meski Presiden Joko Widodo memutuskan menunda pengesahan sejumlah peraturan bermasalah seperti RKUHP. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM UGM) Atiatul Muqtadir alias Fatur menegaskan itu di ILC TVOne: "menunda [pengesahan RKUHP] itu kan sebenarnya bahasa politis, Bung Karni (pembawa acara)."
Dia menegaskan: yang dituntut mahasiswa bukan agar DPR dan legislatif menunda pengesahan peraturan, tapi membatalkannya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Rio Apinino