tirto.id - Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 atau SJ182/SJY182 yang hilang kontak pada pukul 14.40, Sabtu (9/1/2021) mengingatkan kembali tentang sejarah tragedi kecelakaan pesawat di Indonesia.
Salah satunya adalah tragedi yang cukup menelan korban itu adalah kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 yang terjadi pada Rabu, 09 Mei 2012 lalu. Tragedi yang menelan semua penumpang dan awak kabin tersebut dinyatakan hilang kontak di sekitar Gunung Salak.
Kala itu, pesawat Sukhoi Superjet 100-95, nomor registrasi RA-97004 melakukan penerbangan demonstrasi dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta menuju kembali ke Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Pesawat Sukhoi tersebut mengangkut 37 penumpang, 6 awak, dan 2 petugas Sukhoi, sedang dalam perjalanan di dekat Gunung Salak, Bogor sekitar 36nm Selatan dari Jakarta atau sekitar 30 menit setelah penerbangan ketika kontak radio dengan pesawat hilang antara 14.21 WIB dan 14.33 WB.
Kemudian, puing-puing pesawat ditemukan oleh helikopter keesokan paginya (10 Mei) sekitar pukul 09.15 WIB di lereng Gunung Salak pada ketinggian sekitar 5.300 kaki.
Pada tanggal 11 Mei sekitar pukul 14.00 WIB, tim penyelamat mencapai lokasi kecelakaan dan kemudian menemukan 45 jenazah.
Sebelum Pesawat Menabrak Gunung Salak
”Jakarta… Romeo Alfa Three Six Eight Zero One request descend from 10.000 feet to 6.000 feet,” kata Aleksandr Yablontsev, sang pilot Sukhoi, meminta menurunkan ketinggian kepada petugas di menara Jakarta Approach, Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Ketika Yablontsev menurunkan ketinggian, kecepatan pesawat di menara Jakarta terdeteksi 290 knot atau 537 kilometer per jam, separuh dari kecepatan maksimum. Itulah detik-detik terakhir Yablontsev berbicara dengan petugas menara pemantau. Setelahnya, permintaan agar pesawat berbelok ke arah kanan tak mendapat tanggapan. Moncong pesawat mengarah ke Gunung Salak.
Pilot tak mengetahui jika pesawat yang ia kendalikan mengarah dalam bahaya. Menurut laporan majalah Tempo edisi 21 Mei 2012, tujuh menit setelah Yablontsev meminta berbelok ke arah kanan, Sukhoi lenyap dari pantauan radar Jakarta Approach.
“Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One…. Calling Romeo Alfa Three Six Eight Zero One.” Tiga kali dipanggil, pilot Yablontsev tak juga menyahut.
Sukhoi baru dinyatakan hilang empat jam kemudian. Kecelakaan itu terjadi pada 9 Mei 2012, tepat hari ini enam tahun silam.
Esoknya, pesawat buatan Rusia tahun 2009 itu dinyatakan jatuh di Gunung Salak berbarengan dengan penemuan titik lokasi jatuhnya. Jenazah para korban baru bisa dievakuasi tiga hari setelah Sukhoi dinyatakan hilang kontak.
38 Detik Terabaikan
Dari rekaman kotak hitam (black box) yang berhasil dibuka Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terungkap, sebelum pesawat jatuh, Alexandr Yablontsev terdengar mengobrol dengan pilot asal Indonesia. Tak teridentifikasi siapa pilot asal Indonesia itu, tapi yang pasti, Yablontsev sedang berbincang soal keunggulan Sukhoi sebelum pesawat nahas itu menghantam gigir gunung.
Ketika obrolan itu dilakukan, Yablontsev mengabaikan peringatan bahaya dari dalam kokpit termasuk permintaan kopilot Alexandr Kochetkov tentang cuaca. Padahal, Yablontsev hanya punya waktu 38 detik untuk menghindari gunung di depannya.
“Tujuh detik menjelang tabrakan terdengar peringatan berupa suara 'landing gear not down' yang berasal dari sistem peringatan pesawat," ujar Ketua KNKT Tatang Kurniadi ketika mengumumkan hasil investigasi kecelakaan Sukhoi, tujuh bulan setelah kejadian.
Tapi, detik-detik itu diabaikan Yablontsev. Ketika alarm peringatan terus berbunyi sebanyak enam kali, ia mengira ada kerusakan pada database kontur. Ia kemudian mematikan alarm. Dua detik kemudian "duarrr"—pesawat meledak menghantam dinding puncak satu Gunung Salak.
Sejak saat itu, Sukhoi dinyatakan hilang kontak hingga akhirnya ditemukan dalam kondisi hancur dan menewaskan 45 orang, terdiri dari 37 penumpang dan 8 awak pesawat.
“Maybe... database,” kata Yablontsev untuk terakhir kalinya.
Perbincangan itu menjadi kunci kenapa kemudian Sukhoi—pesawat yang sedang melakukan demonstrasi penerbangan untuk membetot pembeli di Indonesia itu—sirna. Menurut laporan majalah Tempo edisi Desember 2012, ketika Sukhoi dinyatakan jatuh, Rusia, negara tempat pesawat itu dibuat, meminta penyelidikan kotak hitam pesawat dilakukan di Moskow.
Namun, permintaan itu ditolak Tatang Kurniadi. Rusia kemudian mengirimkan tim ke Jakarta untuk melakukan penyelidikan bersama. "Mereka berkepentingan karena Sukhoi menjadi andalan industri penerbangan Rusia," ujar Mardjono Siswosuwarno, Ketua Tim Penyelidik Sukhoi KNKT, seperti dikutip Tempo.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto