tirto.id - Selain sambal, pelengkap terbaik kala makan adalah kerupuk. Tekstur renyah, rasa gurih, membuat kerupuk jadi teman makan yang aduhai.
Sama seperti sambal yang versatile dan nyaris cocok dipadankan dengan makanan apapun, begitu pula kerupuk. Ia bisa disantap sebagai teman makan, kudapan, atau bahkan jadi hidangan sendiri, misal kerupuk jangek yang disiram kuah gulai di rumah makan Padang. Bisa bikin kamu berteriak ke uni atau uda pramusaji: tambuah ciek!
Kerupuk kaleng, atau banyak juga yang mengenalnya sebagai kerupuk putih, kerupuk ukel, atau kerupuk warung, merupakan salah satu jenis kerupuk yang paling mudah saya temui di daerah saya. Biasanya kerupuk ini dijual dalam kaleng berwarna-warni di warung makan. Kaleng-kaleng ini biasanya milik salah satu supplier kerupuk. Penjualnya datang secara berkala dan mengisi ulang kerupuk dalam kaleng.
Pada masa saya kecil, ketika rumah Ibu dihuni oleh banyak orang, kerupuk kaleng ini bahkan tersedia di rumah, di sebelah meja makan, seperti yang ada di warung. Setiap beberapa hari sekali penjual kerupuk langganan datang ke rumah dengan membawa wadah besar di belakang sepedanya, untuk refill.
Kerupuk ini kini tak hanya dijual satuan di warung atau langsung sekaleng, tapi juga dijual dalam kemasan untuk konsumsi rumah tangga kecil. Kerupuk kaleng kemasan ini dijual oleh warung kelontong dan tukang sayur yang berkeliling kampung setiap pagi. Di sana, kerupuk ini dijual dalam kemasan plastik dengan isi 10 kerupuk per plastiknya.
Menurut pengamatan saya, kerupuk kaleng ini terdiri dari dua jenis. Yang satu adalah kerupuk putih dan yang lainnya adalah kerupuk berwarna (biasanya kuning atau oranye). Kerupuk kaleng yang berwarna memiliki rasa yang lebih “kaya” dibandingkan yang putih, karenanya saya sebenarnya lebih suka kerupuk yang berwarna, terutama yang berwarna kuning. Tapi, perbedaannya tak terlalu signifikan, kok...
Punya Sejarah Panjang, Laris Manis Pula
Kerupuk di Nusantara punya sejarah panjang. Beberapa prasasti mencatat adanya kerupuk dalam pesta-pesta yang diadakan.
Sejarawan Fadly Rahman menyebut bahwa kerupuk tercantum dalam Prasasti Batu Pura. Yang disebutkan di sana adalah kerupuk rambak yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau.
Karena sejarah panjangnya di Nusantara, tak heran kalau akhirnya ada banyak jenis kerupuk yang terbuat dari berbagai bahan. Selain kerupuk rambak yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau, kita juga mengenal kerupuk yang terbuat dari ikan, semisal kemplang dari Palembang. Ada juga kerupuk yang terbuat dari nasi/ beras, seperti kerupuk puli, juga rengginang. Kerupuk yang terbuat dari udang? Jelas ada, cocok buat jadi teman makan soto Lamongan atau rawon. Belum lagi kalau menyebut kerupuk dari singkong, melinjo, mie, atau bahkan kerupuk karak gendar yang terbuat dari nasi sisa.
Sebagai negara penghasil kerupuk, Indonesia juga mengirim kerupuk ke negara lain, lho. Tak tanggung-tanggung, pada 2021 silam, volume ekspor kerupuk, keripik, dan rempeyek mencapai 22 juta kilogram dengan nilai lebih dari USD35 juta. Korea menjadi negara yang paling banyak mengimpornya, kemudian disusul oleh negara-negara seperti Belanda, Tiongkok, Inggris, Malaysia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Singapura, Taiwan, dan Jerman.
Sudah terbiasa sejak lama makan dengan kerupuk, tak heran kalau setiap kali makan di warung nusantara, mata saya pasti segera mencari keberadaan kerupuk kaleng. Kerupuk menjadi pelengkap mantap dalam satu set sajian meski makanannya bisa berganti-ganti: makanan utama, kerupuk dan es teh manis. Harganya yang murah membuat saya sulit untuk tidak menambah satu lagi ketika kerupuk yang saya pegang sudah habis tapi nasi masih ada.
Hampir semua makanan besar bergagrak makanan Indonesia cocok dimakan bersama dengan kerupuk kaleng. Dari mie Jawa, nasi opor, satu set nasi kapau, pindang kuah kuning, hingga sajian sederhana seperti nasi lauk telur dadar dan sambal, bisa disandingkan bersama kerupuk kaleng. Semua cocok!
Terlepas dari cocoknya kerupuk ini untuk dijadikan pendamping bagi aneka makanan besar, ada lho cara lain untuk menikmati kerupuk kaleng ini. Bahkan, saya, suami, dan anak saya punya cara berbeda dalam menikmati kerupuk kaleng.
Bagi anak saya yang belum berusia SD, kerupuk kaleng ini suka ia jadikan camilan. Kerupuk dimakan begitu saja sambil menonton TV atau mengobrol dengan kakaknya. Tapi, karena ukuran kerupuk kaleng yang cukup besar baginya, biasanya ia paling banyak hanya memakan satu buah saja pada setiap kesempatan. Terkadang, hanya separuh.
Sementara, saya sendiri tak begitu suka jika kerupuk kaleng dijadikan camilan. Sejak kecil, kerupuk kaleng seringnya saya jadikan “camilan” dengan versi yang lebih berat. Satu kerupuk saya beri nasi di atasnya. Tak terlalu tebal tapi juga tak terlalu tipis, secukupnya saja. Nasi ini ditata sedemikian rupa sehingga menutupi luasan muka kerupuk. Begitu saja, lalu dimakan. Apabila ingin yang rasanya lebih kaya, sejumput abon sapi saya taburkan di atas nasi tadi.
Enak! Tapi tak perlu menghitung kalorinya, ya.
Lain lagi suami saya. Dia begitu menyukai kerupuk kaleng yang lembek. Cara makannya, kerupuk ini direndam kuah hingga lembek keseluruhannya. Karenanya, setiap terhidang lauk berkuah dengan rasa yang kuat, segera dia sigap membeli kerupuk kaleng ini dalam jumlah hampir dua kali lipat dibanding biasanya. Sekali makan bisa membutuhkan 2-3 kerupuk. Ada yang direndam langsung, ada pula yang diremuk terlebih dahulu baru kemudian disiram kuah. Semuanya dengan tujuan melembekkan kerupuk.
Saya tidak menyukainya cara ini.
Lalu ada pula cara menikmati kerupuk ini sebagai camilan yang dicocol dengan bumbu lotis, namanya lotis kerupuk. Sajian ini mengganti buah-buahan yang ada di lotis dengan kerupuk. Bumbu lotisnya sendiri tidak berbeda dengan yang biasanya, menggunakan bahan dasar gula Jawa, air asam Jawa, cabai, dan garam. Ini mirip dengan kerupuk yang dicocol di sambal brambang asem kangkung ala Solo. Sedikit lebih instan, ada pula yang menikmati kerupuk putih ini hanya dengan dicocol sambal pecel.
Seorang kawan memperkenalkan cara menyantap kerupuk kaleng yang berbeda lagi. Kerupuk diremuk dan dicampurkan ke dalam satu piring nasi putih hangat. Lalu, sajian ini langsung dimakan tanpa diimbuhi lauk lain. Rasanya mirip dengan kerupuk tumpuk nasi saya tadi, hanya tekstur dan sensasinya yang berbeda.
Terakhir, ada satu lagi cara makan kerupuk kaleng ini yang populer di seantero Indonesia. Caranya dengan menggantung kerupuk di tali rafia dan dimakan sambil berdiri tanpa dibantu kedua tangan kita. Iya, itu cara makan kerupuk yang biasanya ada di perlombaan tujuhbelasan. Bisa masuk juga, nggak?
Populernya kerupuk kaleng ini membuat saya cukup yakin bahwa pastilah masih ada acara-cara lain untuk menikmati kerupuk ini. Bagaimana di daerahmu, ada cara unik lainnya?
Editor: Nuran Wibisono