tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertanyakan akses sumber data daftar pemilih sementara (DPS) sebanyak 52 juta yang diklaim Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil, tidak wajar.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan pihaknya mengetahui adanya klaim 52 juta data DPS tak wajar dari rilis tertulis perkumpulan itu yang kemudian muncul di pemberitaan media.
"[Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil] menyebutkan ada 52 juta data pemilih dalam DPS tidak wajar. Pertanyaan pertama kami begini, dari mana teman-teman LSM ini mendapatkan akses DPS tersebut?" tanya Hasyim di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Menurut Hasyim, berdasar UU Pemilu Nomor 7/2017, satu-satunya akses publik perihal penyerahan daftar pemilih, baik itu DPS maupun daftar pemilih tetap (DPT) itu hanya KPU kepada partai politik di pengurus tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pengurus parpol tingkat pusat.
"Dari situ, kan, kami bertanya-tanya karena kami tidak tahu gimana ceritanya bisa memperoleh DPS tersebut," ucap Hasyim.
Ia mengatakan sumber akses data itu perlu ditanyakan, karena UU Pemilu, UU Keterbukaan Informasi Publik, dan perlindungan data pribadi, wali data atau pemangku datanya adalah KPU. Hasyim mengatakan KPU memiliki kewajiban untuk melindungi data pribadi.
"Sehingga untuk keperluan Pemilu 2024, sebetulnya di database pemilih KPU itu, komponen NIK dan nomor kartu keluarga itu masih ada, tapi untuk publikasi tidak kami sampaikan dalam rangka untuk melindungi data pribadi para pemilih kita," tegas Hasyim.
Ia mengingatkan apabila tujuannya sama-sama memperbaiki daftar pemilih, KPU akan mengundang dan mengajak guna mengkaji data temuannya itu bersama-sama. Hasyim menegaskan bukan hanya KPU yang mencocokkan.
"Kami mengundang partai dan para pihak untuk cocok-cocokkan, menemukan data seperti ini kita cocokkan," kata Hasyim.
Nyatanya, kata dia, hingga kini KPU belum mendapatkan data yang diklaim tak wajar itu.
"Kami hanya mendapat materi siaran pers itu. Jadi sifatnya hanya bunyian-bunyian, belum melihat data yang detailnya di daerah mana, by name siapa, kami belum mengetahui itu," pungkas Hasyim Asy'ari.
Dalam keterangan terpisah sebelumnya, Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil mengklaim menemukan sekitar 52 juta data DPS tak wajar dalam daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2024.
Juru Bicara Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil Dendi Susianto mengatakan pihaknya telah melayangkan surat klarifikasi guna meminta penjelasan ke KPU Rabu pagi. Ia menyebut surat klarifikasi itu telah diterima pihak KPU.
"Ada sekitar 52 juta data yang kita temukan sebagai data yang aneh," kata Dendi saat jumpa pers di Resto Upnormal, Raden Saleh, Jakarta Pusat, Rabu (14/6/2023).
Ia menjelaskan disebut data aneh karena DPS yang diberikan oleh KPU hanya mencantumkan identitas, nama, jenis kelamin, usia, alamat, TPS, dan desa.
"Tidak memuat NIK (nomor induk kependudukan) enggak ada. Kemudian, tanggal lahir tidak ada, kecamatan tidak ada, kabupaten tidak ada, provinsi tidak ada," ucap Dendi.
Oleh karena itu, kata dia, DPS tersebut sangat sulit dibaca oleh orang awam. Ia juga menyebut untuk melihatnya pun dibutuhkan super komputer yang cukup bagus.
"Oleh orang awam mungkin agak susah, sehingga kami mengeluarkan effort [usaha] yang cukup besar untuk membacanya, datanya 200 juta TPS, ya, sehingga membukanya effort," tutur Dendi.
Dendi mencontohkan data aneh yang dimaksud. Di antaranya, pemilih dengan usia 12 tahun itu sekitar 34 ribu. Padahal, menjadi pemilih itu orang yang sudah di atas 17 tahun.
"Kalau umur di bawah 12 tahun ini, kan, aneh. Bukan orang yang secara hukum mempunyai hak milih," kata Dendi.
Selain itu, pemilih yang berumur di atas 100 tahun. Namun, ia tak menampik ada pemilih yang berumur di atas 100 tahun, tetapi jumlahnya sedikit.
"Mungkin [ada], tapi sangat sedikit atau sangat aneh kalau orang yang umur 100 tahun masih masuk dalam daftar pemilih sementara. Kemudian juga ada data yang kurang dari dua huruf, misalnya namanya aa, uu, ee, eo gitu loh, kalau di Jabar mungkin ada aa, di Jawa Tengah ga ada, tetap harus ada nama yang satu suku kata biasanya," ujar Dendi.
Lebih lanjut, Dendi juga menyebut data yang menggunakan tanda tanya. Misalnya huruf tanda tanya, sehingga masuk data valid atau tidak valid.
"Kemudian ada juga data yang RW-nya 0 alias RW-nya enggak ada. Ini ada sekitar 13 juta sekian yang tidak ada. Lalu, yang tidak ada RT-nya, itu sekitar 600 ribu sekian. Kemudian ada juga yang tidak ada RT-nya tidak ada RW-nya, itu 35 juta sekian," tukas Dendi.
Ada pula, kata dia, kartu keluarga (KK) yang ganda.
"Kemudian, KK dobel, ada nama RT, RW. TPS-nya sama itu sekitar 2 juta sekian data yang kami terima, sehingga data keseluruhan itu ada 52 juta sekian yang tidak valid atau sekitar 25 persen," tutup Dendi.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri