tirto.id - Belum lekang dari ingatan kita bagaimana Setya Novanto lolos dari jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena memenangkan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh hakim tunggal Cepi Iskandar. Ketika itu, Novanto, yang diduga terlibat dalam kasus megakorupsi KTP-elektronik, terbebas dari segala tuduhan karena Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadapnya dinilai tidak sah.
Jumat (10/11) kemarin, KPK kembali menetapkan Ketua DPR RI cum Ketua Umum Partai Golkar ini sebagai tersangka untuk kasus yang sama. "KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada tanggal 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN [Setya Novanto]," demikian kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta.
Tuduhan KPK tidak berubah. Dengan sejumlah alat bukti, Novanto disangkakan telah melanggar pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP karena telah menyalahgunakan wewenang dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi sewaktu menjabat sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014.
Yang berbeda hanya dalam hal kronologi penetapan tersangka. Penetapan kali ini dilakukan di akhir penyelidikan. Tampak tidak signifikan memang, tapi justru itu yang krusial.
Baca juga: Usai Penetapan Tersangka, KPK Belum Berencana Tahan Setya Novanto
Dalam putusan praperadilan, hakim tunggal Cepi Iskandar mengatakan bahwa Sprindik Novanto tidak sah karena komisi antirasuah itu tidak menunjukkan proses penyelidikan sebelum menetapkannya sebagai tersangka. Selain itu, bukti yang diajukan bukan berasal dari tahap penyelidikan dan penyidikan sendiri untuk perkara Novanto, tetapi dalam perkara lain.
Cepi Iskandar menyatakan, hal tersebut tidak sesuai dengan prosedur penetapan tersangka sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun standar operasional (SOP) KPK.
Sementara dalam penetapan kali ini, tertulis jelas di bagian dasar huruf d, e, dan f bahwa ditetapkannya Novanto sebagai tersangka itu di akhir penyelidikan. KPK melakukan penyelidikan baru pada 5 Oktober 2017 lalu. Pada 13 dan 18 Oktober, Novanto dipanggil tapi tidak hadir dengan alasan dinas. Pada akhir Oktober, KPK melakukan gelar perkara dengan tim penyelidik. Saat itu ditemukan dua bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Setya Novanto pun bergerak cepat, melalui sang kuasa hukum, Fredrich Yunadi. Selang beberapa jam saja sejak pengumuman penetapan kembali Novanto sebagai tersangka, Yunadi kemudian mendatangi Bareskrim Mabes Polri. Ia mengatakan bahwa akan mengadukan pimpinan KPK terkait tindak pidana. KPK akan diadukan dengan Pasal 414 KUHP dengan masa hukuman penjara 9 tahun.
Yunadi mengatakan, KPK telah melawan putusan praperadilan pada akhir September 2017 kemarin. Menurutnya, ketika Cepi Iskandar mengatakan bahwa KPK harus menghentikan penyidikan, maka itu artinya berlaku terus. Penerbitan Sprindik baru dinilai melanggar putusan ini. Yunadi menuduh KPK telah "menghina pengadilan." Ia juga mengatakan bahwa KPK "paling pintar bersandiwara."
Baca juga: Tak Pikirkan Praperadilan, KPK Fokus Proses Penyidikan Novanto
Selain polisi, Yunadi juga akan kembali memperkarakan penetapan ini di praperadilan.
Sebelum itu, Yunadi, via bawahannya Sandy Kurniawan Singarimbun, juga sempat memperkarakan dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, atas dugaan pemalsuan surat pencegahan ke luar negeri terhadap Novanto. Dalam surat nomor B/263/XI/2017/DitTipidum kedua pimpinan KPK disidik berdasar Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Sama seperti pelaporan ke Bareskrim, langkah ini dinilai merupakan upaya agar Novanto terbebas dari jeratan apapun.
Tapi segala ancaman itu sepertinya tidak membuat KPK gentar. Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah, mengatakan bahwa pihaknya akan "fokus pada proses penyidikan." Ia juga memastikan bahwa selain menggunakan bukti lama, penetapan kali ini juga karena ada bukti baru yang ditemukan kemudian.
Ia juga secara khusus mengatakan bahwa penetapan ini dilakukan dengan terlebih dulu mempelajari hasil praperadilan tempo hari. Dengan kata lain, KPK belajar dari kesalahan yang lalu.
Baca juga: KPK Kembali Tetapkan Setya Novanto Sebagai Tersangka Kasus e-KTP
Lalu bagaimana dengan Golkar? Apakah akan terjadi lagi konflik internal seperti yang terjadi ketika Novanto ditetapkan sebagai tersangka bulan lalu? Sekjen Partai Golkar Idrus Marham tidak bisa memastikan hal tersebut tidak terjadi lagi. Ia hanya mengatakan bahwa Golkar tidak akan menggelar Rapat Pleno lagi sebagaimana yang pernah mereka lakukan dulu.
Selain itu, Idrus juga memastikan bahwa Golkar tidak akan ikut campur dalam proses hukum ini. "Saya kira Bang Nov ini punya tim kuasa hukum sendiri," katanya, setelah bertemu Novanto di kediamannya di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin (10/11).
Idrus juga memastikan bahwa kondisi fisik Novanto baik-baik saja. Dalam kasus sebelumnya, ketika ditetapkan sebagai tersangka Novanto mendadak sakit, dari mulai vertigo, gula darah, gejala stroke, pengapuran jantung, gangguan ginjal, flek di kepala, hingga penyempitan fungsi jantung. Ia harus dirawat berhari-hari di RS Premier Jatinegara.
Novanto kemudian dengan cepat kembali sehat walafiat setelah kasusnya dimenangkan di praperadilan.
"[Novanto] sehat seperti biasa dan tadi juga di dalam tetap sama-sama salat, mulai dari salat maghrib dan sampai pada sholat Isya. Berjalan seperti biasa, tak ada masalah," kata Idrus.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino