Menuju konten utama

KPK Tetapkan Bupati Abdul Latif Tersangka Gratifikasi dan TPPU

Penerimaan gratifikasi itu diduga berasal dari proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah selama Abdul menjabat sebagai Bupati.

KPK Tetapkan Bupati Abdul Latif Tersangka Gratifikasi dan TPPU
Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif berada di mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (30/1/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menetapkan Bupati Hulu Sungai Tengah nonaktif 2016-2021 Abdul Latif (ALA) sebagai tersangka penerima gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas ALA yang diterima setidak-tidaknya Rp23 miliar," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (16/3/2018)

Laode menerangkan, penerimaan gratifikasi diduga berasal dari proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah selama Abdul menjabat sebagai Bupati. Abdul diduga menerima fee sekitar 7,5 persen hingga 10 persen dari setiap proyek. Namun, Laode tidak merinci jumlah proyek yang diterima oleh Abdul Latif.

Dalam perkara gratifikasi, KPK menyangkakan Abdul Latif melanggar pasal 12 B Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam proses pengembangan kasus, KPK juga menetapkan Abdul Latif (ALA) sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

"KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang," kata Laode.

Laode menjelaskan, dugaan pencucian uang muncul setelah KPK menemukan indikasi adanya penerimaan gratifikasi sebesar Rp23 miliar yang berasal dari fee proyek-proyek Kabupaten Hulu Sungai Tengah digunakan untuk membeli aset.

"Penyidik telah menyita aset, baik yang diduga terkait dengan penerimaan suap, gratifikasi, atau tindak pidana pencucian uang," kata Laode.

Laode menerangkan, KPK menyita total 23 mobil serta 8 unit motor. Ke-23 mobil tersebut terdiri atas: 1 mobil mitsubishi Strada, 1 unit mobil BMW 640i Coupe, 1 mobil Toyota Vellfire ZG, 1 mobil Lexus tipe 570 4x4, 1 Hummer/H3 jenis Jeep, 1 mobil Jeep Rubicon Model COD 4 Door.

Kemudian 1 jeep Rubicon Brute 3.6 AT, Cadillac Escalade 6.2 L, 1 Hummer/H3 jenis jeep, 3 unit Toyota Hiace, 1 unit Toyota Fortuner, 8 unit Daihatsu Grand Max, serta 2 unit Toyota Cayla.

Sementara itu, 8 motor terdiri atas 1 motor BMW Motorrad, 1 motor Ducati, 1 motor Husberg TE 300, KTM 500 EXT, dan 4 unit Harley Davidson.

"Seluruh kendaraan yang disita tersebut dititipkan di Rupbasan [Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara] Banjarmasin untuk sementara dan Jakarta Barat. Untuk 8 unit mobil yang saya sebutkan tadi dan 8 motor dalam perjalanan ke Jakarta sekarang melalui jalur laut menggunakan kapal reguler dan kemudian dititipkan di Rupbasan Jakarta Barat," kata Laode.

Namun, Laode menerangkan, KPK belum menemukan bukti dugaan pencucian uang berbentuk aset tidak bergerak."Untuk sementara dari hasil penyidikan KPK kami belum menemukan itu. Yang kami jelas itu soal tadi 23 unit mobil tadi dan 8 unit motor," kata Laode.

Laode menerangkan, KPK sudah bisa membedakan harta pribadi Abdul Latif yang diperoleh secara sah dan hasil korupsi. Ia menerangkan, KPK cukup melihat dari tahun perolehan harta. "Tahun perolehannya ini diterima pada saat ketika beliau menjabat bupati," kata Laode.

Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sebelumnya, KPK juga telah menetapkan Abdul Latif (ALA) sebagai tersangka korupsi suap. Latif ditetapkan sebagai tersangka bersama 3 orang lain dalam kasus korupsi dugaan tindak pidana menerima atau memberikan janji terkait pengadaan pekerjaan pembangunan RSUD Damanhuri tahun 2017.

Ketiga orang itu adalah Ketua Kamar Dagang Indonesia Barabal Fauzan Rifani (FRI), Direktur Utama PT Sugiwa Agung Abdul Basit (ABS), Dirut PT Menara Agung Donny Witono (DON).

Abdul Latif ditetapkan sebagai tersangka lantaran menerima fee proyek pembangunan rumah sakit senilai 7,5 persen atau atau sekitar Rp3,6 miliar. Diduga, pemberian fee proyek telah dilakukan sebanyak 3 kali.

Uang pertama dikirimkan dalam rentang waktu September-Oktober 20117 sebesar Rp1,8M. Kemudian, pengiriman kedua terjadi pada tanggal 3 Januari 2018 sebesar Rp1,8M. Terakhir, DON transfer ke FRI sebesar Rp 25 juta.

Untuk pembuktian tersebut, KPK mengamankan rekening koran atas nama PT Sugriwa Agung dengan saldo Rp1,825m dan Rp1,8m. Kemudian, KPK menemukan uang di rumah dinas ALA sebesar Rp 65 juta. KPK juga menemukan uang di ruang kerja ALA sebesar Rp35 juta.

KPK menyangkakan ALA, FRI,dan ABS melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU 31/99 sebagaimana diubah UU 20/01 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sementara itu, untuk DON selaku pemberi suap disangka melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU 31/99 sebagaimana diubah UU 20/01 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Baca juga artikel terkait OTT BUPATI HULU SUNGAI TENGAH atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto