tirto.id - Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Sofyan Basir akan mengajukan keberatan (eksepsi) atas dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibacakan di sidang perdana yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 24 Juni 2019.
Salah satu poin keberatan mantan direktur utama PT Perusahaan Listri Negara/PLN (Persero) itu adalah penambahan dan penghapusan pasal yang digunakan komisi antirasuah dalam proses penyidikan dan penuntutan.
“Penghilangan dan penambahan pasal tertentu untuk mendakwa terdakwa Sofyan Basir, maka telah terjadi ketidakpastian hukum,” kata Soesilo Aribowo, penasihat hukum Sofyan Basir, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin kemarin.
Dalam surat dakwaan primer, pasal yang digunakan oleh jaksa KPK adalah Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP. Untuk dakwaan alternatif, Sofyan diduga melanggar Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Sementara, pada saat penetapan tersangka, Sofyan Basir dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Soesilo menyebut ada pasal yang hilang di dalam dakwaan, yakni pasal 12 huruf b UU Tipikor dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Di sisi lain, terdapat pasal baru yang muncul, yakni Pasal 15 UU Tipikor.
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14,” demikian bunyi pasal baru yang digunakan jaksa [PDF].
Jaksa KPK Budi Sarumpaet mengakui adanya perubahan tersebut. Ia mengatakan, selama proses penyidikan, penuntut umum selalu berkomunikasi dengan penyidik untuk mendapat perkembangan soal fakta-fakta yang muncul.
“Makanya itu yang kami dakwakan di surat dakwaan ini,” kata Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada Senin (24/6/2019).
Pendapat senada disampaikan jaksa KPK lainnya, Lie Setiawan. Menurut dia, dihapusnya Pasal 12 huruf b UU Tipikor menandakan fakta-fakta yang diperoleh selama proses penyidikan menunjukkan perbuatan Sofyan Basir tidak memenuhi unsur pasal tersebut.
Ia menilai, seharusnya pihak Sofyan Basir mensyukuri dicabutnya Pasal 64 KUHP (Pasal Perbarengan Tindak Pidana) dalam berkas dakwaan.
“Berkurangnya Pasal 64 adalah sesuatu yang malah menguntungkan terdakwa bahwa terdakwa menurut jaksa perbuatan yang bersangkutan tidak perlu lagi diklasifikasikan tindakan yang berlanjut," kata Lie saat dikonfirmasi reporter Tirto, pada Senin (24/6/2019).
Perubahan Pasal Dinilai Wajar
Pengajar hukum pidana di Universitas Indonesia (UI) Choky Risda Ramadhan menilai tidak ada yang patut dipermasalahkan dari perubahan pasal yang digunakan komisi antirasuah tersebut.
“Tidak ada larangan untuk itu,” kata Choky saat dihubungi reporter Tirto.
Choky menjelaskan, dalam proses penyidikan secara paralel, penyidik juga melakukan proses pra-penuntutan. Dalam proses ini, kata dia, penyidik berkoordinasi dengan penuntut umum untuk menentukan arah penyidikan dan barang bukti yang harus dikumpulkan.
Selain itu, kata Choky, dalam proses penuntutan, jaksa penuntut umum memiliki otoritas penuh untuk menentukan pasal yang paling tepat untuk dicantumkan di dakwaan dan dibuktikan di persidangan.
“Menyusun dakwaan itu, supaya tepat dan supaya tidak bebas, dia kan harus didukung dengan bukti-bukti yang sesuai dan komprehensif, yang bisa meyakinkan majelis hakim,” kata Choky menambanhkan.
Peran Sofyan Basir
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, jaksa menyebut Sofyan telah dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan yang mendukung terjadinya kejahatan.
Hal itu dilakukan dengan memfasilitasi pertemuan antara anggota DPR Eni Maulani Saragih, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dan pengusaha Johannes B. Kotjo.
Padahal terdakwa, kata jaksa KPK Lie Setiawan, mengetahui Eni Maulani Saragih, Idrus Marham akan mendapatkan sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo.
Di dalam dakwaan Sofyan dijelaskan, Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pengusaha batu bara tertarik mengerjakan proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1. Ia sempat dua kali mengirim surat kepada PLN, tapi tak ditanggapi. Karena itu, ia meminta bantuan kawannya yang merupakan Ketua Fraksi Golkar saat itu Setya Novanto untuk menghubungkan dirinya dengan PLN.
Novanto kemudian memerintahkan Eni Maulani selaku anggota komisi VII DPR untuk membantu Kotjo. Eni kemudian mempertemukan Kotjo dengan Dirut PLN Sofyan Basir dan Direktur Pengadaan Strategis II PLN Supangkat Iwan Santoso guna membantu Kotjo.
Pertemuan antara Kotjo, Eni dan Sofyan Basir kemudian berlanjut hingga beberapa kali dan turut melibatkan Idrus Marham. Akhirnya, dari pertemuan-pertemuan itu dihasilkan kesepakatan Kotjo akan menggarap proyek PLTU Riau-1.
Sebagai timbal balik atas bantuannya, Kotjo kemudian menyerahkan Rp4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih secara bertahap. Idrus Marham pun dijanjikan jatah yang sama dengan Eni.
Namun, perbuatan ini terbongkar oleh KPK. Akhirnya Johannes Kotjo dihukum penjara selama 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, Eni Maulani Saragih dihukum 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, dan Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Atas perbuatannya tersebut, Sofyan Basir didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz