tirto.id - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita empat properti berupa tanah dan bangunan terkait penyidikan perkara dugaan korupsi berupa pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu. Dalam kasus ini, mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menjadi salah satu tersangka mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah (RM).
"Pada tanggal 21 Februari 2025, penyidik KPK telah melakukan penyitaan terhadap satu bidang tanah beserta rumah yang berlokasi di Depok Jawa Barat serta tiga bidang tanah yang berlokasi di Kota Bengkulu yang diduga milik tersangka," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (25/2/2025) dilansir dari Antara.
Tessa mengungkapkan taksiran nilai empat properti yang disita tersebut sekitar Rp4,3 miliar. Penyitaan ini merupakan upaya penyidik untuk pemulihan keuangan negara akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka RM.
Tessa mengatakan penyidik masih terus menelusuri dan mendalami informasi-informasi terkait aset-aset milik tersangka RM yang diduga diatasnamakan pihak lain atau di bawah penguasaan pihak lain.
"Penyidik tidak akan segan-segan mengenakan tindak pidana pencucian uang kepada siapapun bilamana ada pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan aset milik para tersangka yang diduga berasal dari hasil tindak pidana," ujarnya.
Penyidik KPK pada Minggu (24/11/2024) menetapkan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah (RM) dan dua orang lainnya sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi berupa pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu.
Dua tersangka lainnya, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri (IF), dan ajudan (Adc) Gubernur Bengkulu, Evrianshah (EV).
Penetapan tersangka terhadap tiga orang tersebut berawal dari Komisi Pemberantasan operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Bengkulu, Sabtu (23/11/2024) malam.
Operasi senyap tersebut berdasarkan informasi soal dugaan pemerasan terhadap pegawai untuk pendanaan Pilkada 2024.
Dalam operasi tersebut, penyidik KPK menangkap delapan orang. Namun, hanya tiga orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Lima orang lainnya hanya berstatus sebagai saksi.
Ketiga tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP.