tirto.id - Penetapan Direktur Utama PT Perkebunan Nusanatra (PTPN) III, Dolly Pulungan, sebagai tersangka dugaan suap kontrak distribusi gula tak hanya menambah panjang daftar kasus korupsi BUMN. Lebih dari itu, kasus suap antara pengusaha swasta dan pimpinan holding perkebunan BUMN itu menunjukkan adanya celah dalam distribusi gula di perusahaan pelat merah yang bisa disusupi aksi tidak terpuji.
Kasus ini terkuak usai KPK mencokok Corry Luca dan I Kadek Kertha Laksana, Selasa lalu (3/9/2019).
Corry merupakan kaki-tangan Pieko Njoto, pemilik PT Fajar Mulia Transindo yang ditunjuk PTPN III dalam kontrak jangka panjang distribusi gula. Dalam kontrak itu, perusahaan Pieko mendapat kuota untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) secara rutin selama masa kontrak. Sedangkan Kadek adalah Direktur Pemasaran PTPN III.
Setelah memeriksa Corry dan Kadek, KPK menduga Dolly meminta imbalan kepada Pieko atas terealisasinya kontrak bersama PT Fajar Mulia Transindo.
"Disimpulkan ada dugaan tindak pidana korupsi pemberian/penerimaan hadiah atau janji terkait Distribusi Gula di PTPN III Tahun 2019," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, beberapa jam setelah penangkapan.
Distribusi Gula Rentan Korupsi
Suap-menyuap dalam distribusi gula dinilai rentan terjadi di PTPN III. Sebab, dalam produksi gula kristal putih, PTPN III diperbolehkan menutupi kekurangan pasokan gula mentah dari perusahaan yang mendapatkan izin impor.
Peneliti dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan pemerintah harus mulai membuka mekanisme pengadaan gula impor ke PTPN lewat skema kontrak kerja sama. Mulai dari harga di negara pemasok impor, margin yang diperoleh perusahaan, serta kuota yang diberikan.
Penunjukan tertutup, apalagi menggunakan skema privilege seperti yang sedang berjalan, kata Rusli, bertentangan dengan prinsip tata kelola yang baik atau biasa disebut dengan good corporate governance (GCG).
Ia menyebut, perusahaan yang mampu menawarkan biaya terendah seharusnya adalah yang berhak dipilih. Dengan cara demikian, perusahaan akan terdorong untuk memiliki margin yang wajar dan mengurangi potensi melakukan suap demi kuota impor.
"Kalau impor, kan, ia selalu berpikir untuk dapat untung. Seringkali ada suap agar bisa terus dapat kuota. Makanya yang dipilih itu orang yang bisa menawarkan harga terendah. Kalau dia suap kan, margin semakin kecil jadi enggak ada ruang untuk suap," ucap Rusli.
Tahun ini, PTPN memperkirakan gula mentah yang diperlukan untuk memenuhi masa giling 2019 mencapai 525 ribu ton.
Ketua Umum DPP Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menilai skema kontrak itu memang tidak wajar sejak awal. Sebab, menurut Soemitro, kebutuhan gula mentah masih bisa tercukupi tanpa perlu impor.
Produksi dalam negeri, dia bilang, berada pada kondisi yang mencukupi seiring berjalannya panen di berbagai sentra produksi. Jika skema kontrak dilakukan, ia memprediksi, gula mentah petani bisa tak terserap dan harganya bisa jatuh.
Ia pun menyebut impor gula seharusnya baru dilakukan jika harga gula di dalam negeri mengalami lonjakan. "Kita tidak impor dan gula cukup. Bulan Januari-Juni tidak melonjak," ujarnya.
Di samping itu, kata Soemitro, impor seharusnya bisa dikembalikan kepada Bulog. Selain mencegah suap, keuntungan BUMN dapat digunakan untuk merevitalisasi pabrik gula dan memacu produksi dalam negeri.
"Kalau ditugasi impor, ya, Bulog saja dan duitnya sendiri. Jangan harus beli gula begini nanti dikasih privilase. Itu, kan, pasti ada itung-itungan gitu," ucap Soemitro.
Apa yang disampaikan Soemitro bisa saja salah. Dalam catatan Tirto, kasus suap menyangkut gula impor ini sebelumnya sempat menjerat Irman Gusman. Dalam persidangan terungkap, Irman "memperdagangkan" pengaruhnya sebagai Ketua DPD kepada pejabat Bulog, supaya dia bisa menerima keuntungan dari impor gula ini.
Sementara itu, Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro enggan berbicara banyak kalau kasus suap ini terkait adanya impor gula.
Sebaliknya ia meyakinkan kalau OTT KPK ini terkait distribusi gula yang dilakukan swasta. Ia juga mengatakan kalau PTPN tidak memberi rekomendasi untuk impor.
"Kalau itu aku liat enggak ada urusan impor. PTPN enggak ada impor gula. Itu distribusi gula PTPN. Kalau gula enggak ada seperti itu (penunjukan impor)," ucap Wahyu saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/9/2019) pekan lalu.
Adapun Direktur SDM Umum PTPN, Seger Budiarjo belum menjawab pertanyaan reporter Tirto hingga laporan ini diterbitkan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana