tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat produk Politik Cerdas dan Berintegritas (PCB) berupa naskah kode etik politisi dan partai politik, serta panduan rekrutmen dan kaderisasi partai politik ideal.
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, di Jakarta, Kamis (24/11/2016) berharap, kode etik bagi para politisi dan partai politik tersebut dapat mendorong iklim politik yang cerdas dan berintegritas.
“Kami sadar betul tidak mungkin persoalan integritas dan korupsi hanya dikerjakan di KPK. Kami harus bekerja sama dengan seluruh komponen bangsa dan yang paling strategis, dan mereka adalah politisi karena mereka pemimpin,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Dalam naskah kode etik politisi dan parpol ini terdapat empat substansi, yaitu: pertama masuk ke dalam dan menjadi bagian penting dari undang-undang tentang parpol; kedua, naskah ini menjadi salah satu persyaratan mutlak apabila negara akan memberikan dana kepada partai politik yang berasal dari APBN.
Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM menjadikan naskah ini sebagai sebagian dari persyaratan mutlak bagi parpol yang mendaftarkan diri sebagai badan hukum ke Kemenkumham; keempat, adanya tekanan masyarakat kepada partai-partai politik agar naskah ini terinternalisasi di dalam jiwa, pikiran dan tindakan para politisi dan parpol.
“Saya kaget dari segi tingkat pendidikan, ada 600-an koruptor yang ditangkap KPK dominan bergelar master, sedangkan ada sekitar 40 orang itu S3, artinya koruptor kebanyakan pendidikan tinggi. Apalagi dari kasus yang 'in kracht', 32 persen perwakilan parpol. Kenyataan itu sangat miris karena kita butuh politisi yang begitu baik dan betul-betul jadi inspirasi," ujarnya.
Sementara itu, peneliti senior LIPI Syamsudin Haris mengatakan bahwa kerja sama KPK dengan LIPI sudah terjadi sejak Juni 2016 lalu.
"Pertanyaannya mengapa parpol? Kita tahu semua bahwa parpol adalah pilar utama sistem demokrasi kita. Saya kira kita sepakat bahwa demokrasi kita ada di tangan parpol, kalau parpol dan politisinya tidak begitu baik maka sangat mungkin masa depan kita tidak baik juga, cuma masalahnya adalah bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap parpol tidak begitu baik," ujarnya.
Selain itu, tingkat kepercayaan yang rendah itu terjadi karena kualitas kinerja parpol dan pemimpinnya yang belum baik. Karena itu, pihaknya memandang perlunya kode etik bagi para politisi dan parpol ini.
“Kami memandang bahwa semua pada dasarnya perlu kata etik. Kita tahu sebagaimana diamanatkan di konstitusi kita, parpol yang menyeleksi semua pejabat publik. Oleh sebab itu penting bagi politisi kita memiliki kerangka etik dan panduan bagaimana semestinya bertingkah laku apa yang patut atau tidak dlm prilaku politisi, begitu juga dengan parpol, parpol bagaimana pun butuh kerangka etis juga. Katakanlah parpol melakukan kesalahan maka bisa dilikuidasi tidak bisa ikut pemilu. Itu semacam kode etiknya," ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam kode etik yang disusun tersebut Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dapat menghukum penyelenggara pemilu apabila melanggar panduan etik.
"Nah sebetulnya hal yang sama bisa diberlakukan kepada politisi kita di mana bagi yang melanggar bisa dihukum oleh mahkamah etik. Mahkamah etik bisa dari internal dan eksternal. Putusannya final dan mengikat supaya tidak ada intervensi dari pengadilan dan hukum," jelas Syamsudin.
Sedangkan Panduan Mekanisme Seleksi dan Kaderisasi Parpol mengatur bagaimana parpol menerapkan seleksi yang baku, transparan dan akuntabel serta mengimplementasikan standar kaderisasi secara umum.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto juga mengakui bahwa citra politik di masyarakat sudah buruk. Menurut Wiranto, ada satu reduksi bahwa politik dipersempit oleh masyarakat sebagai hal bayar-membayar, menjelekkan satu dengan yang lainnya sehingga tergambar politik di Indonesia kotor.
“Dalam hati saya tertawa dan prihatin. Politik yang terjebak dalam justifikasi bahwa politik kotor ini akan berbahaya karena di benak mereka wajar-wajar saja melakukan apa saja," ujarnya.
Karena itu, Wiranto menilai perlunya pembenahan internal parpol, termasuk cara rekrutmen yang berkualitas. “Sementara ini banyak cara untuk mendapatkan suara seperti merekrut para artis, makin terkenal makin bisa jadi anggota DPR. Saya tidak mengatakan mereka buruk tapi ini soal kompetensi. Karena tidak mungkin dengan waktu yang singkat dan belum matang bisa putar haluan. Ini problem bagi kita," ucap Wiranto.
Padahal, menurut Wiranto, parpol-lah yang punya "hak" untuk melahirkan pemimpin formal di Indonesia baik sebagai presiden, gubernu, wali kota atau jabatan lainnya.
"Kalau parpol belum punya acuan atau satu panduan keseragaman dalam menghasilkan para pemimpin yang kompeten dan berintegritas maka sungguh tepat, KPK dan LIP membuatkan panduan etika para insan politik dan panduan bagaimana paprol melakukan suatu rekrutmen," jelas Wiranto.
Panduan rekrutmen dan kaderisasi parpol ini diharapkan dapat diadopsi oleh parpol dalam melakukan perbaikan dan perubahan yang positif atas tata kelola parpol.
Menurut Wiranto, dua naskah yang disusun KPK dan LIPI sudah melalui suatu proses yang panjang, mulai dari studi kepustakaan, berdiskusi dengan beberapa pemangku kepentingan seperti para akademisi, bupati, wali kota, politisi, Bawaslu, KPU, aktivis LSM Kepemiluan, aktivis LSM bidang hukum, aktivis intra dan ekstra kampus di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Medan, sampai dengan penulisan naskah akhir.
KPK juga sudah menyelenggarakan Kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB) bagi mahasiswa dan pelajar SMA/sederajat untuk membangun integritas bagi calon kader politik masa depan dan media komunikasi (online dan offline) untuk mendukung terjaganya ekosistem dan jejaring masyarakat politik dan "Boardgame" POLITRIK sebagai alat untuk meningkatkan pengetahuan tentang dinamika dalam proses politik praktis.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz