tirto.id - Presiden Joko Widodo baru saja melantik Komisaris Jenderal Idham Azis sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang baru. Idham Azis menggantikan Tito Karnavian yang ditunjuk presiden untuk mengisi posisi menteri dalam negeri. Pos terakhir Idham Azis adalah Kepala Badan Reserse & Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri.
Penunjukan Idham telah membenamkan isu rivalitas kandidat Kapolri, antara Idham Azis (Akpol 1988) dan Arief Sulistiyono (Akpol 1987), sekaligus memastikan roda regenerasi Kapolri tetap berputar. Tidak harus mundur ke belakang, mengingat terpilihnya Tito (Akpol 1987) menggantikan Badrodin Haiti (Akpol 1982) dulu melompati lima angkatan sekaligus.
Pertanyaan menarik setelah lepas dari terpilihnya Kapolri adalah siapa sosok Kepala Bareskrim berikutnya? Ini penting karena Bareskrim adalah pos yang vital. Di sinilah fungsi utama polisi ditunjukkan; menyidik segala kasus kriminal dan kewenangan menangkap warga sipil mana pun yang dituduh melanggar undang-undang.
Meksipun tak dijelaskan secara struktural dalam internal Mabes Polri, Kepala Bareskrim kerap diposisikan sebagai pejabat tertinggi nomor tiga di Mabes Polri, di bawah Kapolri dan Wakapolri. Tak heran, ada call sign khusus untuk Kabareskrim, yakni TB 3 alias TriBrata 3.
Kewenangan penyidikan dan penangkapan yang dimiliki Bareskrim membuat lembaga ini rentan dimanfaatkan secara politik. Masih ingat kasus Cicak-Buaya jilid I, II dan III? Semua aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap kontroversial bagi kepolisian akan mendapat reaksi dari Bareskrim.
Jilid I - 2009. KPK berseteru dengan Kabareskrim Susno Duadji setelah KPK mencurigai jenderal bintang tiga polisi itu menerima gratifikasi dari Budi Sampoerna karena jasa mencairkan simpanan Budi di Bank Century sebelum bank itu ditutup pemerintah. Pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Bibit S. Riyanto dibidik Bareskrim dengan tuduhan menerima suap dari Anggoro Widjaja, tersangka korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Duo polisi yang mengemuka saat itu adalah Susno Duadji dan wakilnya, Hadiatmoko. Konflik ini akhirnya disudahi setelah jaksa agung atas pengaruh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan surat penghentian penuntutan terhadap Chandra Hamzah dan Bibit S Riyanto.
Jilid II – 2012. Buntut pengungkapan korupsi di tubuh Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang melibatkan Irjen Djoko Susilo, dalam waktu yang tak berselang lama, salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan, mendadak ditersangkakan untuk kasus penganiayaan tahanan saat ia menjadi petugas reserse di Polda Bengkulu, delapan tahun sebelumnya. Polisi yang memperkarakan Novel, justru bukan dari Bareskrim yang saat itu digawangi Suhardi Alius, melainkan Polda Bengkulu yang mengaku baru menerima laporan pengaduan. (Suhardi, akhirnya, terlempar dari Polri dan bertugas di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/BNPT hingga kini)
Konflik ini akhirnya padam dengan sendirinya, setelah Presiden SBY mengatakan tidak tepat bagi polisi, dalam waktu dan cara, mengusut kasus yang dituduhkan terhadap Novel Baswedan.
Jilid III – 2015. KPK membuat kejutan dengan menjadikan Budi Gunawan (BG) tersangka kasus korupsi, tepat ketika ia menjadi calon tunggal Kapolri baru. Budi Gunawan melawan melalui pengajuan praperadilan. Bareskrim pun bereaksi. Budi Waseso, besan BG, yang ditunjuk sebagai Kabareskrim baru hanya tiga hari setelah penetapan tersangka BG oleh KPK, tak lama menetapkan Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto untuk dua kasus berbeda.
Di luar proses hukum, sempat tersebar ancaman dari sejumlah polisi kepada penyidik KPK. Majalah Tempo edisi XX Juni 2015 menulis Brigjen Antam Novambar mengancam membunuh penyidik KPK Kombes Endang Tarsa.
(Empat tahun kemudian, Antam mengklarifikasi tudingan itu saat wawancara uji publik kandidat pimpinan KPK tahun 2019–2023. Saat itu, Antam justru mengaku dibohongi Endang Tarsa. "Ndang, lo mau jadi saksi? Betul, Pak. Kata dia, saya dapat janji angin surga, bahagia sekali, terakhir berpelukan kami. Bahagia polisi mau bela polisi. Besoknya, ternyata tidak, marah saya dibohongi oleh kolonel di lembaga yang dikatakan suci," tutur Antam)
Konflik ini usai setelah Jaksa Agung H.M. Prasetyo memilih melakukan deponering untuk tuduhan yang disangkakan bagi Abraham Samad-Bambang Widjojanto, dan Budi Gunawan secara mengejutkan memenangkan sidang praperadilan melawan KPK.
Babak berlanjut. Antam, entah kebetulan atau tidak, setahun setelah kasus itu, menjadi Wakabareskrim. Tanpa banyak disadari publik, ia adalah pejabat Wakabareskrim terlama yang pernah ada dalam 10 tahun terakhir. Data menunjukkan ada 10 jenderal bintang dua polisi yang pernah menduduki jabatan Wakabareskrim dalam kurun waktu tersebut.
Itu artinya, rata-rata pejabat hanya punya masa kerja satu tahun sebagai Wakabareskrim. Matius Salempang, Syahrul Mamma, dan Ari Dono Sukmanto malah hanya sempat berada di posisi itu kurang dalam waktu enam bulan.
Antam Novambar (Akpol 1985) adalah perkecualian. Ia sudah berada di sana sejak sejak 3,5 tahun lalu. Antam dilantik menjadi Wakabareskrim sejak Juni 2016. Dalam kurun 3,5 tahun itu, ia sudah berganti bos sebanyak tiga kali: Ari Dono Sukmanto, Arief Sulistiyono, dan Idham Azis.
Saat ini beredar beberapa nama yang dicalonkan sebagai Kabareskrim baru. Dua nama yang mengemuka adalah Irjen Gatot Edi Pramono (Akpol 1988) dan Listyo Sigit Prabowo (Akpol 1991). Listyo pernah menjadi ajudan Presiden Joko Widodo.
Siapa pun yang bertugas, Kabareskrim baru nanti mendapat tugas lebih ringan. Kesuksesan pemerintah meloloskan revisi UU KPK telah melumpuhkan satu potensi ‘penganggu’ yang tak bisa dikendalikan selama ini.
Dalam kondisi KPK sudah dilumpuhkan, Bareskrim mungkin tak perlu lagi "dijaga" secara khusus.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.