tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku akan mempelajari kesaksian Mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie di persidangan yang menyatakan Presiden ke-5 Megawati menyetujui pengesahan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) kepada obligator penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan, pihaknya akan mendalami proses pembuatan kebijakan untuk mencari dugaan niat jahat dari penerbitan SKL BLBI itu.
"Kita lihat nanti. Kalau itu menyangkut kebijakan itu sudah clear and cut kita sudah tidak masuk di situ. Tapi kalau nanti kemudian itu mempunyai nilai lain, yang saya maksudkan nilai itu adanya mens rea [niat jahat], niat itu kan nanti akan menjadi sebuah hal yang perlu didalami," kata Saut Situmorang di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Nama Megawati sempat disebut Kwik Kian Gie saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor, Kamis (5/7/2018) untuk mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin adalah terdakwa kasus penerbitan SKL BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara sekitar Rp4,5 triliun.
Dalam BAP, Kwik mengatakan, setidaknya ada tiga kali pertemuan dengan Ketua Umum PDIP itu menjelang pengesahan kebijakan SKL BLBI kepada obligor.
Pertemuan pertama berlangsung di kediaman Megawati di Teuku Umar. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Dorojatun Kuntjoro Jakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku Menteri BUMN dan Ma Rahman selaku Jaksa Agung.
Rapat tersebut menjelaskan rencana penerbitan SKL untuk para obligor kooperatif. Kooperatif yang dimaksud adalah pengusaha yang mau diajak bicara dan bertemu. Namun, Kwik menolak pembahasan karena bukan rapat resmi di Istana.
Pertemuan kedua kembali terjadi di Istana Negara. Rapat pun kembali dihadiri Dorojatun Kuntjoro Jakti, Boediono, Laksamana Sukardi, MA Rahman dan Megawati. Namun, Kwik kembali menolak proposal kebijakan itu. Dalam rapat kedua, Megawati masih belum mengambil sikap.
Kemudian, rapat pembahasan penerbitan SKL kembali digelar di Istana Negara. Rapat kembali dihadiri oleh Dorojatun Kuntjoro Jakti, Boediono, Laksamana Sukardi, MA Rahman dan Megawati. Kwik tetap bersikukuh menolak dengan alasan pemberian SKL baru bisa dilakukan apabila para pengusaha sudah membayar tunai hingga lunas.
Kwik mengatakan bahwa dirinya sempat ditekan para menteri dalam rapat karena ia menolak kebijakan penerbitan SKL. Namun, Presiden Megawati akhirnya sepakat mengeluarkan SKL sesuai hasil rapat.
Hingga saat ini, KPK masih belum melihat adanya unsur transaksional dalam penerbitan SKL BLBI itu karena mereka masih melihatnya sebagai sebuah kebijakan.
"Kita masih belum sampai ke sana [dugaan transaksional]. Itu kita anggap masih sebuah kebijakan," kata Saut.
Namun, KPK akan berfokus pada kerugian negara. "Sejauh itu disimpankan kan kebijakan itu-itu aja yang kita lihat dan kemudian negara rugi di situ udah gitu aja," tutur Saut.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto