Menuju konten utama

Sidang Kasus BLBI: Kwik Kian Gie Sebut Kebijakan MSAA Pro Asing

Kwik Kian Gie menyoroti pemberlakuan MSAA dalam penyelesaian utang debitur BLBI saat bersaksi di sidang Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sidang Kasus BLBI: Kwik Kian Gie Sebut Kebijakan MSAA Pro Asing
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Kwik Kian Gie menjadi saksi dengan terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (5/7/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id - Mantan Kepala Bappenas periode 2001-2004, Kwik Kian Gie mengaku pernah menolak rencana pemberlakuan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) untuk penyelesaian utang debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kwik menilai kebijakan MSAA tidak sesuai dengan undang-undang Indonesia dan pro kepentingan asing.

Kwik menyatakan hal itu saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipiko Jakarta, pada Kamis (5/7/2018).

"Oleh karena yang menyusun MSAA itu 100 persen orang-orang asing dan dipaksakan kepada Indonesia karena Indonesia sangat membutuhkan bantuannya dalam kondisi krisis," kata Kwik.

Sebagai catatan, MSAA merupakan perjanjian pembayaran tunai dan penyerahan aset oleh debitur BLBI dan kredit yang melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). MSAA muncul dengan alasan untuk mempercepat pemulihan ekonomi usai krisis moneter 1998.

MSAA diberlakukan terhadap pengendali bank bermasalah (PPS) yang masih memiliki aset cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. MSAA salah satunya diberlakukan terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Dalam persidangan, Kwik mengaku mengetahui kebijakan MSAA tidak pro kepentingan Indonesia setelah meminta pandangan dari penasihat hukum asal Inggris. Penasihat hukum tersebut menyatakan kebijakan MSAA bermasalah dan tidak cocok dengan undang-undang Indonesia.

"Isinya kacau balau dan banyak sekali yang bertentangan dengan hukum Indonesia. Kemudian saya sendiri berbicara dengan wakil IMF. Saya katakan, bahwa ini bertentangan, dan sombongnya wakil IMF katakan, 'Kalau begitu anda ubah undang-undang anda'," kata mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia periode 1999-2000 tersebut.

Usai mendengar penjelasan itu, Hakim bertanya kepada Kwik tentang siapa pihak yang diuntungkan dari MSAA. Kwik pun menjawab kelompok pendukung pengajuan bantuan ke Dana Moneter Internasional (IMF) yang mendapat keuntungan.

"Jadi waktu meledak krisis 98, di mana Indonesia dengan seluruh tim ekonominya menganjurkan atau mendesak kepada Presiden Soeharto untuk minta bantuan IMF. Yang akhirnya, presidennya yang dapat mengajukan fund rising," ujarnya.

Sebagai informasi, dalam sidang perkara ini, jaksa KPK mendakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menyalahgunakan wewenang dengan menerbitkan surat keterangan lunas piutang BDNI kepada petani tambak.

Ia didakwa telah menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-jakti, untuk pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S. Nursalim.

Syafruddin didakwa bersalah karena menerbitkan surat keterangan lunas meski Sjamsul Nursalim belum membayar kewajibannya kepada pemerintah.

Akibat tindakan tersebut, Syafruddin dianggap melakukan perbuatan memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp4,58 triliun. Jaksa menilai keuntungan yang didapat oleh Sjamsul Nursalim menjadi kerugian negara.

Atas perbuatan tersebut, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom