tirto.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong agar pemerintah membuat sistem pendidikan keluarga yang bebas dari paham radikalisme.Hal ini dilakukan sebagai respons atas kasus aksi terorisme yang melibatkan satu keluarga baik di Surabaya maupun Sidoharjo, Jawa Timur.
"Pemerintah daerah perlu melakukan inovasi pendidikan pengasuhan kepada calon pengantin dan semua kelompok pasangan baik pasangan muda dan tua agar mengembangkan pengasuhan yang positif penuh kasih sayang dan tanpa radikalisme," ucap Ketua KPAI Susanto di Kantor KPAI Menteng Jakarta Pusat Selasa(15/5/2018)
Pasalnya, dari tahun ke tahun KPAI melihat bahwa modus yang diduga melibatkan anak dalam aksi teror terjadi di sejumlah titik. Lokasi itu di antaranya di tiga gereja dan Mapolrestabes di Surabaya; Rusunawa Wonocolo Sidoarjo; Kabupaten Toli-Toli; Samarinda, Kalimantan Timur; dan Medan, Sumatera Utara. Karenanya, pemerintah perlu melakukan tindakan antisipatif.
"Terkait maraknya pelibatan anak dalam kejahatan terorisme, pemerintah dan pemerintah daerah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif dan pencegahan secara masif melalui berbagai model pendekatan agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin," tambah Susanto.
Kemudian terkait kasus terorisme di Sidoarjo dan Surabaya, KPAI juga meminta agar pemerintah daerah bisa memberikan perlindungan kepada anak-anak terduga teroris atau pun korban yang orang tuanya meninggal dunia atas kejadian tersebut.
"Pemerintah Kota Surabaya dan Sidoarjo perlu memastikan anak korban dan terduga terlibat yang selamat dalam aksi terorisme. Ini dimaksud agar dapat diberikan perhatian khusus terhadap tumbuh kembangnya termasuk pemenuhan hak pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainnya" ucap Susanto.
Terakhir, Susanto mengimbau agar masyarakat tidak mempublikasikan identitas anak-anak baik dari pihak terduga pelaku atau pun korban terorisme.
Merujuk pada pasal 19 dan pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tindakan tersebut merupakan sebuah pelanggaran hukum.
"Terkait beredarnya foto, video, gambar baik korban maupun terduga pelaku, kami mengimbau kepada masyarakat luas agar tidak mempublikasikan identitasnya. Mengingat publikasi identitas anak baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku merupakan pelanggaran," tutupnya.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Yuliana Ratnasari