tirto.id - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritik program bagi-bagi sertifikat tanah yang ditemukan banyak mengalami penyelewengan berupa pungli di masyarakat.
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA Beni Wijaya mengatakan, hal tersebut berpotensi terjadi di sejumlah daerah lain di Indonesia. Menurutnya, metode yang dilakukan pemerintah salah sejak awal dan tidak melibatkan partisipasi warga.
"Bagi-bagi sertifikat itu bukan reforma agraria tapi salah satu bagian akhir dari reformasi agraria. Masalahnya karena dia tidak benar maka wajar terjadi penyelewengan kayak begini," ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (7/2/2019).
Beni menyatakan, pemerintah seharusnya melakukan redistribusi tanah dengan melibatkan partisipasi masyarakat di beberapa wilayah yang sudah dipetakan, terutama yang menjadi area konflik agraria.
Program yang dijalankan pemerintah inilah, lanjut Beni, yang nanti akan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan reforma agraria. Untuk menghindari penyelewengan berupa pungli, pelibatan masyarakat juga harus dilakukan agar proses redistribusi lahan yang dipungkasi dengan sertifikasi tanah itu harus dilakukan.
"Yang di Tangerang itu tidak memenuhi prasyarat karena tidak ada keterlibatan langsung dari bawah. Makanya kami mensyaratkan setiap tanah yang diredistribusi itu dibentuk dulu organisasi masyarakat atau petaninya. Nantinya mereka berkolaborasi dengan pemerintah agar sesuai subjek objeknya dan tidak ada penyelewengan," tuturnya.
Sebelumnya, beredar kabar mengenai warga Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan, Banten yang mengaku membayar sejumlah uang untuk menebus sertifikat tanah. Jumlah yang dibayarkan mencapai Rp2,5 juta, padahal pengurusan dan penebusan sertifikat tanah seharusnya bersifat gratis.
Terkait hal ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil menegaskan bahwa pengurusan sertifikat tanah bersifat gratis alias tidak dipungut biaya sama sekali.
Ia menjelaskan bahwa pungli terkait pengurusan sertifikat tanah terjadi bukan di tingkat BPN, tetapi barangkali di tingkat desa, RT, atau RW, bahkan kemudian dalam praktek yang dulu kalau mau mengurus sertifikat ada yang namanya kelompok masyarakat atau Pokmas.
"Pokmas ini yang kadang-kadang melakukan apa yang kita kenal saat ini sebagai pungli," ujar Menteri ATR/Kepala BPN dalam konferensi pers Rapat Kerja Nasional 2019 Kementerian ATR/BPN.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dhita Koesno