Menuju konten utama

Korupsi Makin Gila-Gilaan, RUU Perampasan Aset Kian Mendesak

Perampasan aset bisa melengkapi 3 aspek utama pemberantasan korupsi, yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulangan aset.

Korupsi Makin Gila-Gilaan, RUU Perampasan Aset Kian Mendesak
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, saat bertemu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantornya, untuk bahas soal RUU Perampasan Aset di Kantor Menko Kumham Imipas, Gedung Eks Sentra Mulia, Jakarta Selatan, Kamis (7/11/2024). Tirto.id/Auliya Umayna

tirto.id - Kritik satire berupa “Liga Korupsi Indonesia” yang viral di media sosial mencerminkan kemuakan masyarakat atas kondisi korupsi yang memprihatinkan. Betapa tidak, triliunan uang negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat justru menjadi bancakan para koruptor.

Teranyar, terbongkar kasus dugaan megakorupsi PT Pertamina yang tercatat sebagai salah satu skandal rasuah terbesar di Indonesia—bersama kasus korupsi PT Timah, BLBI, Jiwasraya, hingga ASABRI.

Sayangnya, negara justru tampil tidak serius menuntaskan persoalan korupsi yang sudah parah itu. Salah satu bukti paling mencolok adalah mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Padahal, instrumen hukum itu bisa menjadi senjata ampuh untuk memiskinkan koruptor dan mengembalikan aset negara yang mereka jarah.

Direktur Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, memandang bahwa kemunculan satire Liga Korupsi Indonesia itu merupakan bukti adanya persoalan akut dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia.

Korupsi kelas kakap jelas menimbulkan masalah serius. Apalagi, kata Satria, dalam lima besar klasemen kasus megakorupsi di Indonesia, mayoritas berkaitan dengan sektor sumber daya alam.

Fenomena tersebut berlawanan dengan mandat UUD 1945 yang menyebut bahwa kekayaan alam Indonesia seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Satria mengingatkan bahwa dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 telah menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab mengatur kemaslahatan pemanfaatan sumber daya alam.

“Negara perlu mengatur sumber daya alam. Bukan untuk oligarki apalagi menguntungkan pebisnis korup dan pebisnis gelap yang memilih jalan korupsi dengan pejabat korup,” ucap Satria kepada wartawan Tirto, Senin (3/3/2025).

Dalam konteks itu, Satria menilai bahwa RUU Perampasan Aset adalah strategi jitu dalam memperkuat sistem pemberantasan korupsi Indonesia. Karena, aturan perampasan aset bisa melengkapi tiga aspek utama pemberantasan rasuah, yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulangan aset yang dikorupsi.

RUU Perampasan Aset juga akan berdampak pada tata kelola keuangan dan sumber daya alam yang lebih baik. Pemerintah memiliki keperluan untuk menciptakan kepercayaan kepada masyarakat. Hal itu dapat dicapai dengan memastikan setiap kebijakan yang diambil memiliki spirit antikorupsi.

Satire Liga Korupsi Indonesia merupakan preseden buruk yang berpotensi terus bertelur di masa depan. Oleh karena itu, ibarat penyakit, korupsi mesti dicabut sampai ke akar secara tuntas. Salah satu upayanya dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset.

“Artinya, tidak hanya lip service atau pernyataan politik presiden saja. Tapi, harus dibarengi dengan upaya hukum yang kuat,” ucap Satria.

Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang bahwa hanya dengan dengan RUU Perampasan Aset penegak hukum akan lebih mudah merampas aset-aset para koruptor. Sebab, di dalam RUU Perampasan Aset, dikenal kentuan non-conviction based asset forfeiture.

Mekanisme itu memungkinkan perampasan aset hasil tindak pidana tanpa mekanisme pemidanaan.

Herdiansyah menerangkan bahwa selama ini, ketika ingin merampas aset atau harta koruptor, KPK dan Kejagung harus menunggu dahulu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan RUU Perampasan Aset, penegak hukum bisa merampas aset koruptor tanpa menunggu ada proses pemidanaan secara komplet.

Secara mekanisme, perampasan aset dapat dilakukan ketika penyidik atau Jakasa Penuntut Umum (JPU) memperoleh bukti kuat mengenai asal-usul aset milik koruptor. Setelahnya, bisa dilakukan pemblokiran yang diikuti dengan tindakan penyitaan oleh lembaga yang diberi wewenang.

“Selain itu ada istilah illicit enrichment dalam RUU Perampasan Aset. Misalnya, kalau kita menemukan harta kekayaan pejabat negara yang mengalami peningkatan secara tajam dan meragukan asalnya, itu bisa dirampas,” ucap Herdiansyah kepada wartawan Tirto, Senin.

Jalan Lambat RUU Perampasan Aset

Penyusunan RUU Perampasan Aset merupakan inisiatif dari Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2003. RUU itu mengadopsi ketentuan dari The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). RUU itu pun sempat jadi RUU prioritas di Prolegnas 2008.

Pada 2014, RUU Perampasan Aset masuk kembali dalam daftar pembahasan prioritas. Di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, RUU ini bahkan jadi RUU inisiatif pemerintah dan masuk Prolegnas prioritas 2023.

Langkah tersebut telah pula diikuti surat dan draf yang dilayangkan pemerintah kepada Ketua DPR pada Mei 2023. Jokowi meminta DPR segera membahas RUU Perampasan Aset di Senayan. Namun, hingga saat ini, nasib RUU Perampasan Aset masih tak jelas.

Ia seakan hanya digaungkan sebagai jualan kampanye politik. DPR pun belum memperlihatkan keseriusan untuk membahas RUU itu lebih lanjut.

Selama ini, proses pemulihan aset dalam kasus korupsi masih bergantung pada mekanisme konvensional yang berbasis putusan pidana. Sayangnya, mekanisme itu kerap tidak efektif. Pasalnya, negara baru bisa menyita aset koruptor setelah ada vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Proses itu pun sangat rentan terhadap manipulasi hukum. Mulai dari banding berkepanjangan, hingga adanya rekayasa mengaburkan kepemilikan aset.

Tidak jarang, ketika vonis akhirnya dijatuhkan, aset yang seharusnya disita sudah berpindah tangan atau disamarkan lewat jaringan yang sulit untuk dilacak. Bahkan, ketika vonis telah inkracht, pelaksanaan penyitaan aset tidak selalu efektif, terutama jika telah dialihkan ke pihak lain atau disembunyikan di luar negeri.

Pidana tambahan berupa uang pengganti pun belum efektif. Dalam banyak kasus, koruptor yang telah divonis bersalah tetap bisa menikmati asetnya karena ketidakmampuan penegak hukum melacak harta yang disembunyikan.

Hukuman penjara pun sering kali tidak memberikan efek jera sebab koruptor masih bisa hidup nyaman setelah menjalani hukuman.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menilai bahwa mekanisme penyitaan aset hasil korupsi saat ini hanya bisa dilakukan jika putusan pengadilan itu sudah berkekuatan hukum tetap. Masalahnya, proses menuju inkracht itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Alhasil, selama proses hukum berjalan, aset hasil korupsi kerap hilang atau sulit dilacak.

RUU Perampasan Aset, kata Bagus, bisa efektif memiskinkan koruptor jika penegak hukum menjalankannya dengan tegas. Jika aturan itu berjalan dengan baik, jelas akan membuat koruptor kehilangan keuntungan atas kejahatan yang mereka lakukan.

“Syaratnya adalah efektivitas ini bergantung pada ketegasan aparat hukum dan komitmen politik. Dan dua hal ini kan yang menjadi masalah utama saat ini di Indonesia,” ucap Bagus kepada wartawan Tirto, Senin.

Sementara itu, Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), Lakso Anindito, meyakini bahwa persoalan pengembalian aset rampasan korupsi saat ini adalah soal memosisikan antara kerugian keuangan negara dan uang pengganti. Kerugian keuangan negara berbicara soal hilangnya keuangan negara, sementara uang pengganti merupakan jumlah yang riil diterima oleh pelaku tindak pidana.

Itu menyebabkan adanya disparitas antara kerugian negara dan uang yang secara riil dipulihkan. Hal itulah yang menurut publik tidak memenuhi rasa keadilan.

Menurut Lakso, yang perlu dilakukan adalah memosisikan biaya sosial hukuman korupsi dan siapa yang bertanggung jawab dalam kerangka hukum Indonesia. RUU Perampasan Aset adalah kesempatan untuk membenahi persoalan-persoalan tersebut.

“RUU Perampasan Aset memiliki fungsi penting ketika instrumen illicit enrichment atau peningkatan harta kekayaan tidak sah masuk di dalamnya. Sehingga, pejabat publik dapat mempertanggungjawabkan harta yang didapat ketika menjabat,” ujar Lakso kepada wartawan Tirto, Senin.

Mekanisme perampasan aset telah diterapkan di berbagai negara. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan Civil Asset Forfeiture. Ada pula Inggris dengan aturan Proceeds of Crime Act. Keuntungan utama dari mekanisme perampasan aset itu adalah efektivitasnya dalam mencegah koruptor menyembunyikan hasil kejahatannya melalui jalur hukum yang panjang dan berbelit.

Namun, di Indonesia, pembahasan RUU Perampasan Aset masih mandek hingga kini. Tidak sulit menebak penyebabnya: kepentingan elite-elite politik. Aroma kompromi politik pun akan menjadi-jadi dengan diulur-ulurnya pengesahan RUU Perampasan Aset.

Kendati begitu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset bukan panasea bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pasalnya, RUU Perampasan Aset bakal efektif jika diterapkan saat koruptor atau tersangka tindak pidana korupsi in absentia.

Maka solusinya adalah merevisi UU Tipikor agar mampu menggunakan instrumen menjerat kekayaan yang tidak wajar. Dengan begitu, tersangka korupsi yang hadir dan tidak kabur bisa dikriminalisasi dan dikorek aset-asetnya.

Ditambah, RUU Perampasan Aset adalah aturan yang dinilai sangat super power sehingga dibutuhkan penegak hukum yang bersih dan independen dalam mengoperasikannya.

“Jadi, butuh RUU Perampasan Aset, butuh revisi UU Tipikor, butuh revisi UU KPK agar kembali independen. Memang penegakan hukum masih sangat jauh dari harapan. Belum menimbulkan efek jera dan belum mencegah berulangnya kejahatan,” kata Zaenur.

Jika Indonesia serius ingin keluar dari cap buruk “Liga Korupsi”, tidak ada pilihan lain selain mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset dan memperkuat mekanisme pemiskinan koruptor. Tanpa langkah konkret, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi retorika kosong, sementara praktik korupsi terus menggerogoti negara dari dalam.

Baca juga artikel terkait RUU PERAMPASAN ASET atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi