tirto.id - Menyambut "Hari Matahari", pemerintah Korea Utara menggelar parade militer pada Sabtu (15/4/2017) waktu setempat di tengah situasi yang kian memanas di Semenanjung Korea.
Suasana ibu kota Korea Utara, Pyongyang, tidak menunjukkan tanda ketegangan meski ada kekhawatiran negara itu melakukan uji nuklir dan Amerika Serikat akan membalas bila ada serangan yang mulai dilancarkan, seperti diberitakan Antara.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, cucu Kim Il Sung, akan hadir, namun pemerintah belum mengonfirmasi detailnya ke para jurnalis asing yang berkunjung.
Warga Korea Utara menaruh keranjang-keranjang bunga dan buket di bawah potret pendiri negara Kim Il Sung menyambut “Hari Matahari” pada Jumat (14/4/2017).
Ulang tahun ke-105 pendiri negara itu pada Sabtu (15/4/2017), yang dirayakan sebagai "Hari Matahari" di Korea Utara, adalah hari libur paling penting. Rezim Korea Utara sering memanfaatkannya untuk menampilkan kecakapan militer.
Hujan ringan turun di Pyongyang, saat orang-orang yang mengenakan sepatu bot karet tinggi dan memegangi payung berjalan melewati potret mendiang pemimpin mereka dan tanda yang memproklamirkan bahwa "Hari Matahari adalah peristiwa paling penting di Korea Utara."
Para jurnalis asing yang berkunjung tidak melihat sesuatu yang luar biasa di Pyongyang kecuali pembicaraan mengenai perang.
Akan tetapi, ketika jurnalis asing mengunjungi Korea Utara, gerakan mereka biasanya dipantau dari dekat dan mereka biasanya dibatasi ke Pyongyang. Percakapan dengan orang-orang juga dipantau oleh aparat pemerintah yang juga menjadi penerjemah ke Bahasa Inggris.
Di dekat tempat kelahiran Kim Il Sung, tempat ziarah bagi warga Korea Utara, komuter bergerak cepat di jalur kereta bawah tanah, perempuan muda membawa payung yang lewat mengatupkan tangan, sementara dua anak berseragam sekolah biru berjalan dengan menyeret kaki membawa satu keranjang bunga yang besarnya hampir seukuran mereka.
"Kalau musuh ingin berperang dengan para pemimpin kami, kami tidak takut karena kami akan menang," kata Jon Myon Sop, warga yang bekerja di stasiun bus.
"Saya tahu tentang ketegangan yang sedang meningkat di Semenanjung Korea dan bagaimana AS dan negara-negara bonekanya telah membawa aset-aset militer mereka ke kawasan."
Cho Hyon Ran, pemandu wisata di tempat ziarah itu, mengatakan: "Kami tidak ingin perang tapi kami tidak takut perang karena kami punya kekuatan besar, negara kami yang terkuat di dunia sekarang."
"Kalian bisa lihat semua orang tertawa, semua orang menyanyi, semua orang merayakan Hari Matahari," kata perempuan itu menggunakan Bahasa Inggris. "Kami tidak takut apa pun."
Warga Seoul Justru Rayakan “Black Day”
Pemimpin Pyongyang rutin mengancam Amerika Serikat dan Korea Selatan dengan pembinasaan. Secara teknis, Korea Utara masih berperang dengan Korea Selatan dan sekutunya, Amerika Serikat, karena Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan kesepakatan damai.
Kelompok kapal induk Amerika Serikat pekan ini menuju perairan Korea di tengah kekhawatiran bahwa Pyongyang bisa melakukan uji nuklir atau rudal jarak jauh dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan melakukan aksi sepihak "untuk mengatasi masalah."
Di Korea Selatan, juga tidak ada tanda adanya ketegangan dan hanya ada sedikit pembicaraan mengenai perang.
Warga di ibu kota, Seoul, sedang merayakan "Black Day" (Hari Hitam) pada Jumat (14/4/2017), hari bagi para lajang yang ditandai dengan makan "jajangmyeon", mie dengan saus kental hitam dari kacang hitam.
Hari itu dirayakan sebagai tanggapan terhadap "White Day" (Hari Putih), Hari Valentine versi Asia yang jatuh pada 14 Maret.
"Di luar Korea Selatan, beberapa orang khawatir, tapi kami tidak merasa seperti itu dalam keseharian kami," kata Choi Na-young, seorang pegawai kantor di pusat Seoul.
"Yang bisa saya lakukan hanya berusaha yang terbaik dan bekerja keras," kata Choi, saat dia mengantre untuk membeli mie bersama rekannya.
"Jadi tak peduli apa pun yang dipikirkan oleh dunia luar, saya datang ke sini untuk menikmati Black Day," katanya seperti diberitakan Antara dilansir dari Reuters.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri