tirto.id - Satu dekade silam, saya sangat antusias ketika mendapat tugas lapangan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Etnis Manggarai adalah etnis terbesar di Flores Barat, yang menurut tradisi lisan mereka berasal dari Bonengkabo (Minangkabau), transit di Gorontalo, dan berakhir dengan mendiami area Manggarai saat ini.
Bahkan lebih dari itu, ada juga sebuah perjalanan historis yang menjadikan Manggarai sebagai nama suatu kelurahan di Jakarta Selatan. Seiring berjalannya waktu, Kabupaten Manggarai (Ruteng) mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Manggarai Barat (Labuan Bajo) pada 2003 dan Kabupaten Manggarai Timur (Borong) pada 2007.
Kota Ruteng sebagai ibukota Kabupaten Manggarai hampir selalu berkabut dan memiliki curah hujan tinggi. Ketika matahari bersinar cerah, hawa dingin tetap berhembus menyejukkan. Secangkir kopi Flores dan kue kompiang hangat selalu tersaji sebagai menu sarapan di Hotel Sindha, sebuah hotel ternama di tengah Kota Ruteng.
Kala itu saya menginap di Hotel Sindha selama mengurus perijinan riset di kabupaten. Tepat di seberang Hotel Sindha terdapat sebuah toko kelontong milik seorang babah yang sering menggunakan dialek bahasa Jawa Timur-an. Toko tersebut menjual aneka barang, tetapi kue kompiang selalu tersaji di rak kaca paling depan.
Babah pemilik toko kelontong itu selalu memberi tahu pembeli yang baru ditemuinya bahwa kue kompiang yang aslinya bernama kompia itu ada tiga jenis, yakni orisinal tanpa isian, isi sei babi, dan isi kacang hijau. Beliau juga menyarankan jika sebaiknya kue kompiang dikonsumsi dalam waktu satu hari. Jika kue mulai mengeras, sebaiknya dikukus atau digoreng lagi agar kembali kenyal.
Kue berbahan terigu dengan tekstur lembut dan ulet itu cukup mampu untuk mengganjal lambung. Saya biasa membeli lima buah kompiang orisinal dan saya padukan sendiri dengan mayones atau selai coklat. Semua kue kompiang dihiasi taburan wijen di sisi atasnya. Meski isiannya beda, bentuk kue kompiang di toko Babah tersebut semuanya sama. Babah tersebut sempat bercerita bahwa sebagian besar kerabatnya di Surabaya juga masih memproduksi kue kompiang setiap hari.
Di Ruteng, ada satu keunikan yang membuat saya heran: hampir semua toko dan swalayan tutup pada pukul 12.00 – 15.00. Setelah sekitar lima jam beroperasi setelah istirahat siang itu, sebagian besar toko tutup pukul 20.00. Seketika Kota Ruteng mulai sunyi dan hanya rumah makan Minang di samping Hotel Sindha yang setia menunggu pelanggan hingga larut malam. Warga di sekitar kota menyebut fenomena tersebut dengan “jam tidur siang”. Nampaknya tradisi istirahat siang tersebut adalah sebuah tradisi dari para warga Eropa di masa Hindia Belanda.
Berdirinya Kota Ruteng memang tak lepas dari bantuan para misionaris SVD (Societas Verbi Divini) yang berpihak pada Kerajaan Manggarai dan sangat peduli dengan pendidikan masyarakat Manggarai pada abad sembilan belas.
Ini juga menjadi cikal-bakal banyaknya yayasan Katolik di sana. Kehadiran para misionaris dengan kultur santapan yang berbeda, turut membawa pengaruh bagi ragam kuliner di kota Ruteng. Kudapan di Kota Ruteng yang didominasi kue kompiang dan segala jenis kue klasik Belanda (donat, ontbijtkoek, dan speekoek) jelas berbeda dengan kudapan di area terjauh dari Kota Ruteng.
Setelah menikmati Kota Ruteng selama empat hari, saya menuju sebuah desa di kecamatan terjauh untuk menjalankan tugas lapangan. Saya tinggal di Pustu (puskesmas pembantu) bersama bidan yang bertugas. Suatu hari usai panen kopi, masyarakat di sekitar Pustu mulai menyangrai biji kopi yang telah kering. Kuatnya cita rasa kopi robusta di tanah Manggarai menjadikan mereka mencampurkan biji jagung kering pada proses penumbukan kopi.
Setiap bertandang ke rumah informan, saya selalu mendapatkan secangkir kopi panas. Padahal saya harus menemui tiga informan setiap harinya. Itu artinya minimal tiga cangkir kopi selalu menyiram lambung setiap hari.
Akan tetapi, minum kopi di Manggarai pernah membuat saya ketagihan karena adanya ‘toto kopi’. Ini adalah semacam ramalan nasib yang akan kita hadapi esok dengan cara melihat ampas kopi kita di dalam gelas/cangkir. Konon, hanya orang Manggarai yang dapat melakukan ‘toto kopi’ tersebut. Sensasi harap-harap cemas menanti ramalan nasib usai minum kopi ini rupanya penyumbang kuat bagi kecanduan saya pada kopi Flores kala itu.
Secangkir kopi di Manggarai umumnya selalu ditemani rebusan hasil kebun, seperti singkong, ubi, atau jagung. Akan tetapi, ketika ada warga yang menggelar hajat, kita bisa mencicipi secawan rebok yang mereka sajikan beserta sendoknya.
Rebok adalah kudapan ringan yang lembutnya menyerupai tepung. Rebok terbuat dari tepung beras/tepung jagung, parutan kelapa, gula aren, dan telur. Ketika semua bahan tercampur rata, adonan langsung disangrai hingga kering kecoklatan. Bentuknya yang berserbuk membuat kita harus tenang saat menyantap rebok agar tidak tersedak, atau justru menyemburkan rebok dari mulut kita.
Ketika harus kembali ke kampung halaman, rasanya cukup masygul mengenang kopi, kompiang, dan rebok yang bikin kangen itu. Rupanya dewi fortuna memang selalu datang tak dinyana, saya berkesempatan fieldwork di Labuan Bajo pada Juli 2022.
Betapa bahagianya saya ketika bertemu kembali dengan kopi Flores, kompiang, dan rebok. Sekarang, triumviraat khas Ruteng ini telah banyak terjaja di swalayan. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Kompiang kini tak hanya dijajakan dengan sederhana seperti di warung Babah pada masa lalu. Kini mereka telah dikemas dengan rapi.
Teknologi pengawetan makanan dan pengemasan ini sangat bermanfaat untuk melestarikan dan mengenalkan makanan lokal ke daerah lain. Desain kemasan juga turut menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh praktis, misalnya aneka kopi Flores dalam kemasan mini dan sachet.
Selain itu, kue kompiang rupanya juga telah berinovasi dengan memperbanyak varian isinya, seperti ayam rumput laut, tuna, sapi lada hitam hingga krim kopi Flores manis. Saat ini, kue kompiang dapat bertahan selama 1 minggu di dalam kulkas dan 1 bulan di dalam freezer.
Rebok rupanya ikut pula berinovasi, saat ini dapat bertahan selama 1 tahun dan kita dapat membelinya di lokapasar dengan kata kunci “rebok Flores”. Tapi, kita harus bersikukuh mengetik “rebok”, meski mesin pencari terkadang masih menampilkan Rebook.
Editor: Nuran Wibisono