tirto.id - Penerbit Yudhistira Ghalia Indonesia (YGI) masih mencari cara merevisi buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang memuat Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Buku tersebut dicetak untuk kelas VI Sekolah Dasar dan sudah tersebar ke berbagai sekolah dan toko buku. Menurut Wakil Kepala Penerbit PT YGI Djadja Subagdja, pencarian dilakukan untuk memilih cara revisi paling efektif lantaran revisi memungkinkan buku yang sudah beredar harus ditarik dan diperbaharui untuk disalurkan ulang.
Djadja menyebut punya beberapa opsi terkait revisi tersebut seperti membuat pengumuman nasional, menerbitkan beberapa lembar naskah baru untuk mengubah informasi Yerusalem sebagai ibu kota, atau mempersilakan sekolah untuk mencetak lembaran baru dan ditempelkan di halaman yang dipermasalahkan.
“Kami sedang membicarakan mekanisme untuk ralat seperti apa. Segalanya masih sangat mungkin,” kata Djadja kepada Tirto, Rabu (13/12/2017).
Djadja menjelaskan buku pelajaran itu dicetak berdasarkan kurikulum tahun 2006 dan terus terbit dari tahun ke tahun tanpa ada masalah yang muncul. Mereka mengaku tak pernah mendapat teguran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga akhirnya Presiden Donald Trump membikin polemik dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Kesalahan YGI dalam buku itu pun jadi bahan perbincangan.
Mulai tahun depan, kata Djadja, buku tersebut tidak akan digunakan lantaran sudah ada buku dengan kurikulum baru yang akan mulai terbit antara April atau Mei 2018. Sehingga membuat penerbit makin bingung jika harus menarik semua buku.
“Enggak mungkin ada penarikan tahun depan, tapi pasti ada revisi,” kata Djadja.
Klarifikasi Yudhistira yang Meleset
Polemik di buku terbitan ini mulai ramai diperbincangkan setelah Partai Keadilan Sejahtera Kepulauan Riau menemukan penulisan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, Selasa kemarin, 12 Desember 2017.
Pihak YGI melalui Dedi Hidayat selaku Kepala Penerbitan langsung memberikan klarifikasi. Dedi mengatakan bahwa data yang digunakana dalam buku tersebut memang tidak akurat. Dedi mengaku YGI mengambil data dari world population data sheet tahun 2010.
“Kami tidak mengetahui kalau ternyata data tersebut masih menjadi perdebatan dan belum diakui secara internasional. Perlu kami sampaikan juga beberapa sumber di internet juga mencantumkan hal yang sama,” katanya Dedi.
“Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon maaf apabila sumber yang kami ambil dianggap keliru. Kami akan melakukan perbaikan atau revisi isi buku tersebut pada cetakan berikutnya.”
Berdasarkan penelusuran Tirto, laporan world population data sheet tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Population Reference Bureau tidak mencantumkan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel sama sekali. Jangankan ibu kota, kata Yerusalem tidak ditemukan satu pun dalam laporan tersebut. Laporan itu hanya menampilkan data kependudukan Israel seperti pendapatan per kapita, angka kematian, angka kelahiran, ataupun populasi penduduk.
Ketika diklarifikasi kembali kepada Djadja, dirinya tak banyak berkomentar. “Nanti saya cek lagi,” ucap Djadja.
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Kapuskurbuk) Kemendikbud, Awaluddin Tjalla menyatakan bahwa YGI sejak awal sudah menyalahi aturan yang ada dalam penerbitan buku. Awaluddin menyampaikan bahwa seluruh buku pelajaran yang terbit seharusnya dilakukan penilaian oleh Puskurbuk.
“Buku Yudhistira tidak melalui penilaian Puskurbuk. Oleh karena itu secara regulasi menyalahi aturan tentang peredaran buku di satuan pendidikan,” kata Awaluddin kepada Tirto.
Awaluddin tidak menyatakan Pusburkuk akan menarik penerbitan buku Yudhistira tersebut. Sebagai solusi, Awaluddin menyebut Puskurbuk akan membuatkan revisi terkait dengan kesalahan dalam buku terbitan YGI tersebut.
Awaluddin belum bisa mengatakan apakah Yudhistira akan mendapatkan sanksi. Ia hanya menyebut akan berkomunikasi untuk mengidentifikasi masalah.
Pada sisi lain, Awaluddin mengakui ada kelalaian dalam pengawasan Kemendikbud sehingga menyebabkan buku tersebut bisa terus beredar, namun ia tak menjawab saat disinggung antisipasi agar kejadian ini tidak terulang.
“Betul, itu masalah pengawasan (Kemendikbud),” katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih