tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), kembali merilis laporan pada Hari Bhayangkara untuk memberikan kritik, saran, dan rekomendasi terhadap kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Senin (1/7/2024).
Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, mengatakan Kontras menemukan angka peristiwa kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh Kepolisian mengalami peningkatan. Sepanjang Juli 2023-Juni 2024, tercatat 641 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri.
Dimas mengatakan, dari 641 peristiwa tersebut, terdapat 754 korban luka dan 38 korban meninggal dunia. Selain itu, kata Dimas, Kontras juga mendokumentasikan 35 peristiwa extrajudical killing yang menewaskan 37 orang .
"Laporan ini menjadi bentuk partisipasi Kontras terhadap reformasi sektor keamanan khususnya reformasi Polri, sesuai mandat reformasi serta untuk memberikan dorongan kepada Polri dalam melakukan perbaikan institusi sesuai dengan standar HAM dan demokrasi," kata Dimas dalam diskusi publik peluncuran laporan Hari Bhayangkara, Senin (1/7/2024).
"Berbagai peristiwa kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM nampak tidak pernah tuntas dan selalu berulang dilakukan oleh institusi Kepolisian," tambah Dimas.
Kemudian, Dimas mengatakan sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024, terdapat 75 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan sipil yang meliputi 36 kali pembubaran paksa, 24 kali penangkapan secara sewenang-wenang, dan 20 kali tindakan intimidasi.
"Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat untuk membungkam warga. Secara mayoritas, pelanggaran terhadap kekerasan sipil dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidup dan menuntut haknya serta warga yang mempraktikkan hak untuk berkumpul secara damai dan mengemukakan pendapat di muka umum,” ucap Dimas.
Dimas menyebut, peristiwa tersebut sekaligus memperlihatkan rezim yang di senja kala pemerintahannya masih belum mampu menunjukkan keberpihakan pada hak warga.
Ia menambahkan, pemerintah tidak dengan tegas mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di Kepolisian.
"Pemerintah bersama DPR RI pada Mei 2024 malah menginisiasi revisi UU Kepolisian yang dilakukan secara tiba-tiba dan minim partisipasi publik bermakna," ujar Dimas.
"Adapun substansi dari rancangan undang-undang Polri mengandung berbagai pasal yang akan berburuk ragam masalah yang telah ada, dan berpotensi menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar lembaga, potensi mal administrasi serta pelanggaran HAM," ungkapnya.
Menurutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa agenda revisi perundang-undangan termasuk yang berkaitan dengan sektor keamanan makin jauh dari kepentingan publik.
"Profesionalitas dalam upaya penegakan hukum pidana juga nampaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang genting bagi kepolisian. Berbagai peristiwa salah tangkap dan penangkapan sewenang-wenang masih terjadi, menunjukkan bahwa pada praktiknya, aturan prosedural dan formil hukum pidana sering kali diabaikan dan dikesampingkan," tutur Dimas.
"Masyarakat sipil merindukan institusi kepolisian yang demokratis dan bekerja sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Perbaikan yang konkret dan komprehensif tidak boleh ditunda dan harus dilaksanakan segera," tutup Dimas.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Irfan Teguh Pribadi