tirto.id - Sudah lebih dari enam bulan Wendi Putranto menutup tempat usahanya yang kerap dipakai untuk konser musik di bilangan Jakarta Selatan, akibat pandemi COVID-19. Tak kurang dari Rp 3 miliar melayang dan hubungan kerja 12 karyawan terpaksa diputus.
Namun ia sadar mengesampingkan urusan hiburan dan profit adalah risiko yang harus diambil agar situasi normal seperti sebelum pandemi kembali.
Dalam keadaan seperti itulah beberapa hari lalu ia membaca berita bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan konser musik--yang tentu saja mengumpulkan massa--boleh digelar selama masa kampanye Pilkada 2020. Ia gondok bukan main dengan kebijakan “demi kepentingan politik” ini.
Pilkada tahun ini akan diselenggarakan di 270 wilayah. Dengan asumsi masing-masing diikuti oleh dua pasangan calon dan masing-masing calon menggelar satu kali konser, artinya ada 540 konser yang akan digelar sepanjang 71 hari sejak 26 September hingga 5 Desember.
“Kalau tiba-tiba demi kepentingan politik itu diizinkan, itu buat saya diskriminatif dan sangat tolol,” kata Wendi kepada reporter Tirto, Kamis (17/9/2020). “Enggak apa-apa, ditulis aja ‘sangat tolol KPU-nya’ karena mereka enggak memperhatikan keselamatan dan kesehatan banyak orang ketika meloloskan peraturan seperti ini.”
Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam COVID-19.
Pasal 63 ayat (1) menyebut sejumlah kegiatan kampanye yang bisa dilakukan di masa pandemi COVID-19 adalah: “1. rapat umum; 2. kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; 3. kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; 4. perlombaan; 5. kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; 6. peringatan hari ulang tahun partai politik; 7. melalui media sosial.”
Pada ayat (2) di pasal yang sama, terdapat ketentuan bahwa kegiatan tersebut harus dilakukan dengan beberapa syarat: membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 100 orang, menerapkan protokol kesehatan, dan berkoordinasi dengan Gugus Tugas di daerah tersebut.
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman mengatakan idealnya pilkada ditunda hingga pandemi selesai. Jika pemerintah, legislatif, dan penyelenggara pemilu itu sendiri ngotot, maka penerapan protokol kesehatan harus seketat mungkin. Kegiatan yang bersifat non-esensial seperti konser semestinya ditiadakan.
Memang ada ketentuan pembatasan peserta. Namun Dedi bilang ketika kurva kasus penularan terus meninggi seperti sekarang--penambahan kasus rata-rata harian telah menyentuh angka 3.500--kerumunan dalam jumlah berapa pun tetap berpotensi menjadi titik penyebaran baru. Ditambah lagi, ia ragu pasangan calon akan mematuhi syarat. Berkaca pada proses pendaftaran beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 243 bakal kandidat melanggar protokol dengan mengerahkan massa, padahal sudah jelas-jelas dilarang.
“Tolong empatinya dihidupkan. Ini kasihan sekali sudah banyak yang meninggal, kasus meningkat cukup tinggi, dan lonjakannya cukup tinggi. Saat itu rasanya tidak lazim jika menggelar kegiatan yang jelas-jelas berpotensi menimbulkan klaster baru,” ujar Dedi kepada reporter Tirto, Kamis.
Saat ini saja beberapa pihak yang terlibat langsung dalam pilkada sudah terinfeksi Corona. 103 petugas Bawaslu Boyolali terinfeksi, pun dengan 5 orang anggota KPU Agam, Sumatera Barat. Satgas Penanganan COVID-19 juga menyebut hasil tes 60 bakal pasangan calon dinyatakan positif. Bahkan Ketua KPU pusat Arief Budiman menyatakan diri positif setelah di-swab pada 17 September.
Manajer Program dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadanil menilai KPU tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, PKPU yang melegalkan itu dibuat sesuai dengan Undang-Undang Pilkada yang sialnya disusun tanpa mempertimbangkan kondisi pandemi. Jika PKPU melarang pelaksanaan konser musik untuk kampanye, maka itu bertentangan dengan UU Pilkada dan bisa jadi masalah pada legalitas penyelenggaraan.
“Jadi memang ini ada persoalan yang agak terstruktur dan problemnya memang tidak hanya pengaturan di PKPU-nya, tapi juga di dalam Undang-undang Pilkada,” kata Fadli kepada reporter Tirto, Kamis.
Hal ini diakui oleh Ketua KPU Jawa Timur Choirul Anam. Ia mengatakan mereka tak mungkin melarang kegiatan yang diperbolehkan undang-undang.
Maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar pilkada tidak benar-benar jadi klaster penyebaran, kata Fadli. Pertama, merevisi terbatas dalam waktu singkat untuk mengakomodasi ketentuan protokol kesehatan. Di sini pemerintah bisa memasukkan soal sanksi--termasuk diskualifikasi--bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan. Kedua, Presiden Joko Widodo dapat memasukkan ketentuan-ketentuan pelarangan lewat perppu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino