tirto.id - Satgas Antimafia Bola Polri dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) secara terpisah masih terus melakukan penyelidikan terhadap dugaan skandal match fixing atau pengaturan skor. Meski demikian, kongres PSSI yang akan digelar pada 20 Januari nanti diharap dapat membahas dan memberikan solusi maksimal terkait masalah ini.
Ketua Satgas Antimafia Bola Polri Brigjen Pol Hendro Pandowo berjanji aparat akan terus berusaha maksimal menyelesaikan kasus ini. Saat ini, kepolisian terus memproses kasus ini, termasuk empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Empat orang itu adalah Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah Johar Lin Eng, anggota Komisi Disiplin PSSI Dwi Irianto (Mbah Putih), mantan anggota Komite Wasit Priyanto, dan wasit futsal Anik Yuni Artikasari.
“Pemberkasan memang perlu waktu. Saat ini sedang dilakukan. Berkas perkara ini harus sempurna karena di JPU juga akan dilakukan pemeriksaan,” kata Hendro kepada reporter Tirto, di NarasiTV, Sudirman, Jakarta, Minggu (6/1/2019).
Hendro berharap dalam 40 hari masa penahanan, berkas keempat tersangka sudah bisa diserahkan ke kejaksaan. Hendro bahkan optimistis penyidik bisa menuntaskannya sebelum gelaran kongres PSSI yang dijadwalkan pada 20 Januari 2019.
“Akhir Januari insyaallah bisa. Kami akan segera selesaikan. Karena seperti saya sampaikan tadi, kami enggak perlu menunda-nunda,” kata dia.
Kendati Hendro mengatakan melakukan koordinasi dengan PSSI terkait penanganan kasus ini, tetapi belum banyak data yang diperoleh polisi dari federasi sepak bola itu. Sejauh ini, berkas terkait pertandingan yang dicurigai terjadi match fixing pun belum sampai ke tangan polisi.
“Sampai saat ini terkait dengan kasus yang ditangani belum ada kendala,” kata Hendra mengklaim. “[Data] belum kami minta. Belum sampai situ.”
Wakil Ketua Satgas Antimafia Bola Brigjen Pol Krishna Murti meyakinkan Polri akan terus mencari hingga ke tingkat tertinggi soal match fixing di Indonesia. Karena itu, kata Krishna, dukungan masyarakat sangat penting.
Dia mengatakan masyarakat tidak perlu takut akan adanya intervensi Polri dalam masalah pidana di sepak bola Indonesia. Sebab, kata dia, di beberapa negara lain, polisi memang sudah turut campur sejak lama dan tidak dianggap intervensi.
“Kami ini [hitungannya malah] terlambat. Sangat terlambat. Jadi dukunglah kami untuk memajukan sepak bola Indonesia,” kata Krishna berharap.
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewa Broto berharap Satgas Antimafia Bola Polri bisa menyelesaikan tugasnya sebelum Kongres PSSI dimulai. Menurutnya, agar hasil penyelidikan polisi bisa menjadi bahan evaluasi PSSI.
“Kalau kebetulan bisa selesai sebelum kongres itu lebih baik lagi, karena agendanya sudah jelas. Kalau sampai PSSI tidak mengakomodasi temuan dari satgas, itu sayang banget. Dan pemerintah enggak bisa menekan,” kata Gatot kepada reporter Tirto.
Dalam kasus ini, pemerintah memang tidak bisa menekan PSSI atau ikut campur dalam masalah sepakbola terlalu dalam. Sebab, berdasar statuta FIFA, sepakbola Indonesia bisa mendapat sanksi apabila pemerintah turut campur.
Karena itu, kata Gatot, Kemenpora hanya bisa berharap PSSI mendukung penuh tindakan Satgas Antimafia Bola Polri.
Gatot berharap ucapan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi untuk mendukung tindakan Polri bukan hanya omong kosong, tetapi betul dilakukan. Sebab, nyatanya dalam beberapa diskusi soal match fixing, PSSI selalu menolak hadir.
“Berapa kali dia diundang Mata Najwa enggak datang. Diundang Satgas sempat mangkir di awal. Jadi kesimpulannya dukung, tapi enggak utuh gitu. Jadi hanya ucapan, praktiknya belum,” kata Gatot.
“Jadi PSSI jangan cuma ngikut-ngikut [berantas match fixing], tapi ngikutnya itu 'banci'.”
Harus Dibahas Jadi Bahasan Kongres
Anggota Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI) Helmi Atmaja menyesalkan tindakan PSSI yang seakan tak berguna bagi pemecahan skandal kasus mafia bola. Contohnya, PSSI malah memanggil admin media sosial yang fokus pada sepak bola Indonesia.
Helmi mengatakan, dirinya tak mengerti alasan PSSI malah menggunakan pengelola akun media sosial untuk mencari bukti penguat dari adanya skandal match fixing.
“Kalau kami suruh cari bukti, ya PSSI kerjanya apa selama ini?” kata Helmi yang disambut tepuk tangan peserta yang hadir di NarasiTV.
Sedangkan wartawan olahraga Harian Kompas Herpin Dewanto berharap PSSI bisa mendengarkan omongan dari para pecinta sepak bola termasuk juga Kemenpora.
Dia merasa ketidakhadiran PSSI dalam diskusi terbuka malah tidak menghasilkan apapun untuk kemajuan sepak bola Indonesia. Ia menilai, justru akan bertambah parah apabila kongres PSSI nantinya berujung nihil tanpa membahas mafia skor ini.
“Kalau kongres PSSI juga tidak menghasilkan apa-apa, maka perbincangan kami akan menjadi sia-sia saja,” kata Herpin di lokasi yang sama.
Sementara itu, Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali setuju kongres PSSI harus menghasilkan sesuatu yang dapat mencegah kecurangan mafia bola. Salah satu fokusnya adalah menghapuskan rangkap jabatan pengurus organisasi sepak bola dengan pengurus klub.
Hal ini menjadi perhatian Akmal karena rangkap jabatan cenderung menguatkan tindakan match fixing.
“Bersih-bersih PSSI dari pihak yang mencari keuntungan yang tidak halal dari sepak bola, termasuk juga di dalamnya aturan rangkap jabatan,” kata Akmal kepada reporter Tirto.
“PSSI harus menunjukkan ketegasan membenahi diri mereka sendiri,” kata dia.
Belum Tentu Bahas Rangkap Jabatan
Dalam kesempatan diskusi “Sepak Mafia Bola” di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (5/1/2019), Anggota Exco PSSI Gusti Randa mengatakan rangkap jabatan merupakan urusan masing-masing individu.
Menurut dia, terserah mereka mau rangkap jabatan di klub atau tidak. Sebab, belum ada regulasi yang mengatur soal rangkap jabatan ini. Selama ini, kata Gusti, tidak rangkap jabatan dilakukan hanya berdasarkan kesadaran pribadi.
Namun, kata Gusti, meski belum ada regulasi yang mengatur soal rangkap jabatan, ia tetap berharap ada regulasi soal dualisme itu. Alasannya, kata Gusti, rangkap jabatan tetap berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Rangkap jabatan harus dihindari karena diduga memunculkan potensi kepentingan,” kata Gusti.
Hanya saja, kata Gusti, isu rangkap jabatan ini belum tentu dibahas dalam Kongres PSSI yang direncanakan berlangsung pada 20 Januari 2019. Sebab, bahasan ini tergantung pada keputusan voter.
“Kongres PSSI yang punya kedaulatan itu voter. Sementara ini, belum ada agenda itu [usulan tidak rangkap jabatan]. Kalau sekarang dianggap penting, tentu voter akan mengusulkan hal tersebut dibahas saat kongres,” kata Gusti.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz