tirto.id - Tahun 2018 sudah ditutup rapat-rapat, dan di sepanjang tahun itu tidak ada kabar baik yang datang dari PSSI.
Prestasi timnas Indonesia, baik timnas senior maupun timnas kelompok umur, memble. Pada Agustus 2018 lalu, dalam gelaran Asian Games 2018, timnas U-23 yang ditargetkan melaju hingga babak semifinal mengalami kegagalan di babak 16 besar. Tim yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Luis Milla tersebut kalah adu penalti 3-4 dari Uni Emirat Arab setelah bermain imbang 2-2 hingga babak perpanjangan waktu. Luis Milla dibela, sedangkan PSSI dinilai membebankan target terlalu tinggi.
“Memang kalau saya lihat bukan kesalahan Milla, kesalahan ada di federasi [PSSI]. Kita tahu Asian Games itu levelnya Asia, sementara sepakbola kita level ASEAN masih agak susah,” kata Akma Marhali, pengamat sepakbola sekaligus koordinator Save Our Soccer, dilansir dari situs Bola.net.
Nasib timnas U-16 dan timnas U-19 setali tiga uang dengan nasib timnas U-23. Sementara timnas U-16 gagal melangkah ke Piala Dunia U-17 2019 setelah kalah 2-3 dari timnas Australia U-16 di babak perempat-final Piala Asia U-16 2018, timnas U-19 juga gagal ke Piala Dunia U-20 2019 setelah kalah 0-2 dari Jepang di babak perempat-final Piala Asia U-19.
Timnas senior lebih memprihatinkan lagi.
Persiapan timnas senior ke Piala AFF 2018 langsung dibuka dengan sebuah masalah yang bisa membikin banyak orang mengerutkan dahi. Luis Milla ogah memperpanjang kontrak karena menilai PSSI tidak bersikap profesional. Menurut Gusti Randa, Exco PSSI, kala itu PSSI menunggak gaji Milla selama tiga bulan. Bima Sakti, asisten Luis Milla, kemudian diangkat sebagai pelatih dadakan. Hasilnya: tidak hanya gagal meraih gelar Piala AFF yang didambakan oleh publik sepakbola Indonesia, langkah timnas juga berakhir di babak penyisihan grup.
Jika melihat bagaimana cara PSSI menggerakkan roda sepakbola Indonesia, kegagalan-kegagalan yang dialami timnas Indonesia itu sebetulnya tidak mengejutkan.
Bayangkan, saat prestasi sepakbola Indonesia masih terpuruk, Edy Rahmayadi, Ketua Umum PSSI, justru berlagak layaknya ahli multitasking. Selain menjabat sebagai Ketua Umum, Edy juga menjabat sebagai orang nomor satu di Sumatera Utara. Apa yang dilakukan Edy tersebut memang diperbolehkan, tapi apakah itu pantas dilakukan di sebuah negara yang sepakbolanya masih tertinggal, bahkan dari beberapa negara ASEAN lainnya?
Selain itu, ada beberapa pejabat PSSI – termasuk Edy Rahmayadi – yang juga memiliki saham di klub. Joko Driyono, Pelaksana Tugas Umum Ketum PSSI, adalah pemilik 95 persen saham PT Jakarta Indonesia Hebat yang menguasai 80 persen saham Persija Jakarta. Iwan Budianto, Wakil Ketua Umum PSSI, menjabat sebagai Dirut PT Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia, yang menaungi Arema FC, punya 70 persen kepemilikan saham. Sementara itu, Edy merupakan pemilik 51 persen saham PT kinantan Medan yang menaungi PSMS Medan.
Rangkap jabatan yang dilakukan para penggede PSSI tersebut jelas rawan terhadap konflik kepentingan. Namun saat konflik kepentingan tersebut disinggung oleh Najwa Sihab dalam Catatan Najwa, PSSI justru memilih membela diri. Kala itu, Ratu Tisha, Sekjen PSSI, mengatakan kepada Najwa, “Pasti tidak ada kalau konflik kepentingan, karena hal itu sifatnya collective collegial. Bisa dibayangkan dalam rapat exco kalau ada satu yang membela dirinya, yang lain bagaimana? Kan, pasti ingin juga, kan? Semuanya kolektif.”
Masalahnya, dengan cara kerja seperti itu, PSSI ternyata juga tidak sadar bahwa tubuh mereka sedang digerogoti penyakit kronis. Baru-baru ini, isu skandal pengaturan skor yang melibatkan anggota PSSI mencuat ke permukaan. Setelah nama Hidayat, aggota Exco PSSI yang diduga terlibat dalam pengaturan skor di Liga 2, disebut oleh Yanuar Hermanto, manajer Madura FC, Johar Ling Eng [anggota Exco PSSI], Dwi Irianto alias Mbah Putih [anggota Komdis PSSI], Priyanto [mantan anggota Komite Wasit PSSI], dan Anik Yuni Kartika [wasit futsal] ditangkap oleh Satgas Anti-Mafia Bola karena disinyalir terlibat dalam pengaturan skor.
Lantas, apa yang dilakukan PSSI saat pukulan telak semacam itu menghantam wajah mereka?
Melalui Komdis, PSSI memgambil langkah janggal. Mereka justru terkesan mencari celah untuk menyalahkan pihak lain. PSSI memilih untuk memanggil 76 akun media sosial yang disinyalir mampu memberikan informasi mengenai pengaturan skor. Jika pemilik akun tersebut tidak memiliki bukti atau tidak memenuhi panggilan, PSSI mengancam akan memperkarakan mereka ke polisi.
Pada 27 Desember 2018 kemarin, melalui situs resmi mereka, PSSI lantas mengumumkan bahwa ada 25 akun sosial media yang dipanggil pada 29 dan 30 Desember 2018.
“Kehadiran pemilik akun tersebut diharapkan PSSI dapat membantu untuk menginformasikan berbagai info terkait match fixing atau pengaturan skor pertandingan. Mereka diharapkan menyertakan bukti-bukti akurat yang jelas,” tulis situs resmi PSSI.
Keputusan itu tentu sulit dipahami. Dengan lantang, harian Kompas [Minggu, 30 Desember 2018] langsung menganggap PSSI “buta arah”. Reputasi PSSI pun semakin tercoreng ketika, dari 13 pemilik akun media sosial yang dijadwalkan hadir pada Sabtu (29/12) kemarin, hanya satu pemilik akun media sosial yang datang memenuhi panggilan PSSI.
Untuk itu semua, selama PSSI belum mau introspeksi diri, sepakbola Indonesia tak akan ke mana-mana di sepanjang tahun 2019 nanti. Sebelum mengarahkan sepakbola Indonesia untuk menantang jagad sepakbola ASEAN, PSSI sebaiknya mampu mengalahkan diri mereka sendiri terlebih dahulu.
Melawan diri sendiri memang persoalan yang tidak mudah untuk yang dilakukan. Biar bagaimanapun, diri sendiri adalah musuh paling menakutkan sekaligus mengerikan. Ia bahkan bisa lebih kuat dari Thanos, tokoh paling antagonis dalam jagad The Avengers karya Marvel. Namun, jika ingin mengubah keadaan sepakbola Indonesia menjadi lebih baik, PSSI harus mampu melakukannya.
Dari situ, tahun 2019 bukanlah soal gelar Piala AFF U-22 di Kamboja, lolos ke Piala Asia U-23 2020, juga medali emas SEA Games 2019, tetapi tentang bagaimana caranya PSSI bisa membuktikan ke publik bahwa mereka merupakan federasi yang layak untuk dipercaya.
Editor: Nuran Wibisono