tirto.id - Pada 5 Juni, empat negara di Timur Tengah yakni Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Alasannya, Qatar dituduh membiayai para teroris. Para diplomat Qatar diberi waktu 48 jam untuk meninggalkan negara-negara Teluk tersebut.
Tak hanya memutuskan hubungan diplomatik, empat negara itu juga memblokade Qatar di wilayah udara. Pesawat Qatar Airways dilarang melewati wilayah udara dari keempat negara itu. Oleh sebab itu, rute penerbangan Qatar Airways pun berubah dan harus berputar ke arah Iran, yang menjadi pintu satu-satunya untuk masuk ke Qatar.
Agar Qatar terlepas dari blokade, negara Teluk tersebut mengajukan 13 permintaan. Mereka meminta Qatar untuk memutuskan hubungan dengan semua organisasi teroris dan sektarian seperti Ikhwanul Muslimin, ISIS, al-Qaeda dan lainnya, termasuk menghentikan semua pendanaan bagi individu atau kelompok yang dianggap teroris oleh negara-negara Teluk tersebut.
Qatar juga harus menyerahkan tokoh-tokoh teroris yang menjadi buronan Arab Saudi cs, membekukan aset mereka dan memberikan informasi seperti tempat tinggal tinggal hingga informasi keuangan dari para buronan kepada Arab Saudi cs. Tak hanya itu, Qatar juga diminta agar tidak memberikan kewarganegaraan kepada buronan Arab Saudi.
Pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran yang menjadi pintu masuk ke Qatar juga masuk dalam daftar permintaan negara-negara Teluk. Iran adalah musuh bebuyutan Arab Saudi sehingga negara Teluk meminta Qatar untuk mengusir Garda Revolusi Iran dan memutus hubungan kerja sama militer dan meminta Qatar untuk menjalankan perdagangan yang dengan memperhatikan sanksi Dewan Keamanan PBB bagi Iran.
Tak hanya Iran, Negara Teluk juga meminta Qatar menghentikan kerja sama militer dengan Turki dan menutup pangkalan militer Turki yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan. Kantor berita Al Jazeera juga harus ditutup, termasuk beberapa kantor berita lainnya yang didanai Qatar seperti Arabi21, Al Araby, Middle East Aye dan lainnya.
Menurut Analis Frank Gardner, hanya ada dua pilihan bagi Qatar yaitu Qatar menerima semua permintaan dan kembali ke kumpulan negara Teluk atau memberontak dan menolak permintaan itu dengan konsekuensi diusir dari GCC, diblokade negara Teluk tetapi mungkin di sisi lain akan menguatkan hubungannya dengan Iran dan Turki.
Jika dilihat dari daftar permintaan Arab Saudi cs tersebut, sudah tentu akan membuat Qatar keberatan. Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Tani dari Qatar mengungkapkan bahwa permintaan itu dibuat untuk ditolak. Selain itu, permintaan negara Teluk tersebut juga dianggap tak masuk akal dan di sisi lain melanggar kedaulatan Qatar.
“Semua orang sadar bahwa tuntutan ini dimaksudkan untuk melanggar kedaulatan negara Qatar, menutup kebebasan berbicara dan memaksa audit dan melakukan mekanisme percobaan untuk Qatar,” ujarnya.
“Kami percaya bahwa dunia tidak diatur oleh ultimatum, kami percaya bahwa dunia diatur oleh hukum internasional, peraturan ini diatur oleh sebuah perintah yang tidak memungkinkan negara-negara besar menggertak negara-negara kecil,” lanjutnya.
Sikap keras kedua belah pihak seakan menipiskan harapan soal resolusi damai pasca-Ramadan, seperti yang diprediksi oleh beberapa analis. Munculnya permintaan Arab Saudi cs dan sikap Qatar yang enggan memenuhi permintaan itu membuat konflik Teluk masih jauh dari kata damai.
Penulis dan komentator politik dari New York, Naseer al-Omari mengungkapkan bahwa tak mengherankan jika Qatar menolak permintaan Arab Saudi cs. Ini dikarenakan negara tersebut kini tengah berusaha untuk menemukan sekutu di kawasan karena khawatir akan intervensi Saudi. Sehingga Qatar memperkuat hubungan misalnya dengan Turki. Presiden Erdogan juga menyambut baik, yang dapat dilihat dari dukungan Turki dalam mengirim berbagai bantuan bagi Qatar yang tengah diblokade tersebut.
Penolakan Qatar atas permintaan empat negara tersebut kemungkinan akan memicu serangkaian sanksi ekonomi dan politik tambahan, menurut para konsultan risiko dari Eurasia Group. Ini juga akan menyebabkan kebuntuan selama berbulan-bulan atas konflik di Teluk Persia tersebut.
“Krisis akan terus meningkat sebelum pemimpin Qatar menyesuaikan posisi kebijakannya atau sedikit skenario, memilih untuk memperkuat aliansi dengan Turki dan hubungan yang lebih dekat dengan Iran,” kata Eurasia Group.
Qatar memang berada dalam posisi terjepit. Menerima permintaan Arab Saudi cs berarti kehilangan Turki dan Iran. Sedangkan jika menolak, Qatar kemungkinan akan menerima sanksi tambahan lainnya, bahkan bisa jadi ada sanksi lain dari para sekutu Arab Saudi.
Bagi negara-negara Teluk, jika Qatar menerima permintaan itu maka akan menjadi sinyal yang baik termasuk dalam menekan musuh bebuyutannya Iran. Sedangkan jika Qatar menolak, mereka dapat menekan Qatar dengan berbagai sanksi tambahan. Arab Saudi akan dengan “percaya diri” menjalankan berbagai cara untuk menekan Qatar.
Hal itu juga tak lepas dari dukungan AS. Mantan senat penasihat kebijakan luar negeri AS, James Jatras mengungkapkan bahwa sebagai sekutu, Arab Saudi tentu berpikir jika AS akan mendukung semua langkah yang dilakukan oleh Riyadh, dan mungkin sekutu lain akan melakukan hal yang sama dalam mendukung Riyadh, padahal sebenarnya AS hanya mengejar agenda mereka sendiri di wilayah tersebut.
“Mohammed bin Salman mengira ia memiliki cek kosong dari Presiden Trump dan ia sudah bertindak sesuai, tetapi pemerintah AS memainkan permainan yang lebih besar,” ujar Jatras.
Jatras mengingatkan bahwa Arab Saudi dan Qatar sesungguhnya sedang membahayakan keamanan dan stabilitas kawasan dan wilayah mereka sendiri, yang pada ujungnya dapat mempengaruhi masa depan keduanya, jika ketegangan di Teluk tak segera diredakan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti