tirto.id - Suku Anasazi di Amerika Serikat membangun tempat tinggal di bawah tebing yang menghadap ke selatan karena beberapa alasan. Mereka adalah petani dan cukup terampil dalam arsitektur kuno yang hidup di sekitar 200 SM hingga 1300 Masehi.
Tebing yang menghadap ke selatan memberikan perlindungan dari terik matahari musim panas yang dapat mencapai suhu hingga 46 derajat celcius di gurun barat daya. Tebing juga membantu memerangkap panas selama musim dingin, saat matahari lebih rendah di langit, sehingga mereka tetap hangat selama bulan-bulan musim dingin.
Selain memberikan perlindungan dari terik matahari, tebing juga terletak di dekat sumber air yang penting untuk pertanian dan minum. Lain itu, juga merupakan pertahanan alami terhadap musuh, karena sulit untuk didaki dan diserang.
Penggunaan tebing yang menghadap ke selatan oleh Anasazi merupakan contoh cemerlang dari desain surya pasif, sebuah solusi dalam merancang bangunan agar mendapatkan energi matahari untuk memanaskan dan mendinginkannya sehingga dapat beradaptasi dengan iklim pada musim-musim tertentu.
Desain sistem surya pasif memanfaatkan ketergantungan pada sinar matahari secara alamiah lewat posisi bangunan. Lawan dari desain ini adalah sistem surya aktif seperti panel surya atau tungku yang baru ditemukan pada awal abad ke-19. Kedua desain ini dapat digabungkan untuk menciptakan bangunan modern dengan pencahayaan, ventilasi, dan efisiensi energi yang optimal.
Beberapa tahun ke belakang, seorang pandai besi di Kabul, Afghanistan, membangun pemanas surya yang harganya terjangkau dan ramah lingkungan. Dibuat parabola bekas sebagai alternatif penggunaan bahan bakar di negaranya yang dilanda berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Dimanfaatkan Sejak Zaman Kuno
Manusia telah memanfaatkan energi matahari selama ribuan tahun dalam berbagai cara, termasuk teknik pemanasan dan pendinginan pasif sinar matahari.
Pada abad ke-7 SM, orang Yunani dan Romawi menggunakan cermin untuk mendapatkan sinar matahari dan obor untuk upacara keagamaan. Seperti halnya suku Anasazi, mereka merencanakan kota-kota di Yunani dan Asia Kecil dapat mengakses sinar matahari selama musim dingin untuk menghangatkan rumah mereka.
Peradaban Tiongkok lantas mendokumentasikan penggunaan cermin untuk tujuan yang sama pada abad ke-3 SM.
Seorang fisikawan Prancis, Edmond Becquerel, menemukan efek fotovoltaik pada tahun 1830-an. Namun, baru pada tahun 1950-an tenaga surya mulai mendapatkan daya tarik komersial ketika pecah Perang Dingin.
Amerika Serikat dan Uni Soviet sama-sama tertarik mengembangkan tenaga surya untuk digunakan dalam satelit dan aplikasi luar angkasa lainnya. Pada 1954, Daryl Chapin, Calvin Fuller, dan Gerald Pearson mengembangkan sel surya silikon pertama yang cukup efisien untuk penggunaan praktis.
Kemudian, sel surya pertama dibuat oleh Bell Labs pada 1954 dan digunakan dalam eksplorasi luar angkasa oleh NASA. Pada 1970-an, krisis minyak menyebabkan meningkatnya minat tenaga surya sebagai sumber energi alternatif.
Pemerintah di beberapa negara mulai berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan tenaga surya, yang mengarah pada penciptaan panel surya yang lebih efisien dan terjangkau.
Pada 1990-an, Jerman memperkenalkan sistem feed-in tariff yang memberi insentif pada penggunaan tenaga surya, yang menyebabkan ledakan industri. Saat ini, Jerman telah bergeser dari feed-in tariff dan beralih ke pelelangan energi terbarukan secara bertahap akibat faktor domestik dan perubahan undang-undang Uni Eropa.
Beberapa negara menetapkan target yang ambisius untuk penggunaannya. Kemajuan teknologi terus membuat tenaga surya lebih efisien dan terjangkau, menjadikannya alternatif yang semakin layak untuk bahan bakar fosil tradisional.
Karena biaya panel surya terus turun, tenaga surya menjadi pilihan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan energi yang dapat digunakan untuk menghasilkan listrik di rumah, perkantoran, dan kebutuhan seluruh kota.
Potensi Panas Surya di Afghanistan
Rafiullah Mohmand dan Anand Mohan dalam jurnalnya berjudul "Potential of Solar Energy in Afghanistan" (2020) menyebutkan Afghanistan merupakan salah satu negara dengan penggunaan listrik terendah di dunia--sekitar 100 kilowatt jam (kWh) setiap tahun penggunaan per kapita.
Selain itu hanya 30 persen penduduknya yang terhubung ke jaringan listrik. Total kebutuhan tertinggi terjadi pada tahun 2014 sebesar 750 megawatt (MW), kebutuhan yang tidak tertekan diperkirakan sebesar 2.500 MW. Pada 2014, hampir 80 persen listrik disediakan oleh tenaga impor dari negara tetangganya dan permintaannya meningkat sebesar 25 persen di kota-kota besar.
Padahal Afghanistan memiliki potensi energi matahari yang tinggi karena banyaknya hari cerah. Negara ini menerima rata-rata 300 hari sinar matahari per tahun dan tingkat radiasi matahari sangat tinggi. Artinya, panel surya bisa menghasilkan banyak listrik di Afghanistan. Potensi surya negara itu diperkirakan sekitar 50 GW, yang setara dengan hampir 250 kali total kapasitas terpasang saat ini.
Selain kelimpahan sinar matahari, Afghanistan juga memiliki sejumlah faktor lain yang menjadikannya wilayah baik untuk pengembangan energi surya. Negara ini memiliki lahan yang luas, yang berarti ada banyak ruang untuk pembangkit listrik tenaga surya. Biaya panel surya juga turun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, membuat energi matahari lebih terjangkau.
Pemerintah Afghanistan telah mengakui potensi energi surya dan telah membuat sejumlah komitmen untuk mempromosikan pengembangan tenaga surya. Pada 2015, pemerintah meluncurkan Kebijakan Energi Terbarukan Nasional untuk meningkatkan pangsa energi matahari dalam bauran listrik negara menjadi 40 persen pada tahun 2032.
Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk mempermudah bisnis dan individu untuk berinvestasi dalam energi surya. Pada 2018, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang memberikan keringanan pajak untuk proyek tenaga surya. Mereka juga telah menyiapkan sejumlah mekanisme keuangan untuk membantu membiayai proyek tenaga surya.
Sebagai hasil dari upaya ini, telah tumbuh ketertarikan pada energi surya di Afghanistan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada sejumlah proyek tenaga surya skala besar yang dikembangkan di negara ini.
Energi matahari dapat membantu mengurangi ketergantungan Afghanistan pada minyak impor dan juga dapat membantu meningkatkan keamanan energi negara tersebut di masa depan.
Kompor Surya Berbentuk Parabola
Kompor surya berbentuk parabola semakin populer di Afghanistan karena krisis energi kronis negara itu. Alih-alih menebang pohon untuk kayu bakar, beberapa individu dan instansi menawarkan alternatif ekonomis untuk bahan bakar rumahan.
Warga Afghanistan banyak yang beralih ke kompor tenaga surya sebagai solusi atas ketersediaan bahan bakar yang semakin menipis dan kondisi ekonomi yang sulit. Kompor tenaga surya tidak hanya menghemat uang keluarga untuk biaya bahan bakar tetapi juga menghemat waktu yang sebelumnya dihabiskan untuk mengumpulkan kayu bakar, yang berpotensi mengubah cara hidup tradisional di Afghanistan.
Ghulam Abbas, seorang pandai besi di Kabul, membangun pemanas tenaga surya berbentuk parabola yang memusatkan sinar matahari dan menyediakan alternatif bahan bakar yang terjangkau dan ramah lingkungan.
Kompor surya dapat merebus air dalam 18 hingga 20 menit dan menjadi populer sebagai energi yang hemat dengan pesanan yang selalu datang hampir dari berbagai penjuru negeri.
Abbas belajar bagaimana membangun pemanas surya dari seorang teman yang pernah belajar di Iran. Dia mulai membangun pemanas surya pada tahun 2017, setelah melihat kebutuhan akan cara memasak yang lebih terjangkau dan ramah lingkungan di Afghanistan.
Ia menggunakan desain sederhana yang memusatkan sinar matahari ke arah lembaran logam yang sudah dimodif sedemikian rupa. Setiap cermin direkatkan ke bingkai melengkung yang memantulkan dan memusatkan sinar matahari ke arah panci masak atau lembaran logam. Bahan pembuat alat masak ini bersumber dari Pakistan, Cina, dan Rusia. Kompor tidak memiliki harga yang ditetapkan karena biaya bahan yang fluktuatif.
Ia mendesain parabola lebih kecil dari pasaran umum karena pelanggannya banyak yang berasal dari tempat jauh sehingga memudahkan ketika dikirim atau dibawa langsung.
Dia berharap bisa memperluas bisnisnya secara internasional, tetapi menghadapi tantangan karena kurangnya dana dan sumber daya.
Abbas juga berharap kepada Pemerintah Taliban untuk mempromosikan penggunaan kompor surya, karena banyak warga Afghanistan kekurangan sumber daya untuk membeli batu bara atau kayu.
Kompor surya dirancang Abbas dengan bentuk parabola untuk menarik perhatian, namun tetap fokus pada pusat sinar matahari untuk menyediakan panas yang cukup untuk memasak, tidak memerlukan bahan bakar, dan tidak menghasilkan emisi.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi