tirto.id -
Amiruddin menambahkan, Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), harus proaktif membantu warga dalam menyelesaikan persoalan administratif sehingga tidak kehilangan hak pilihnya di Pemilu 2019.
"e-KTP itu kewajiban negara untuk menyediakannya agar orang bisa menggunakan haknya. Bukan karena enggak punya e-KTP dia enggak bisa milih. Harus dicari jalan keluarnya. Karena masalah kayak gini terjadi terus di setiap pemilu," kata Amiruddin di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2019).
Amiruddin mengingatkan negara harus menjamin hak pilih seseorang bisa terpenuhi dan tak terhalang hanya karena ada hambatan dalam proses administratif.
"Kalau prosesnya karena masalah administratif sekian orang enggak bisa ikut memilih misalnya, kualitas dari kebijakan publiknya akan menjadi kurang baik juga nanti," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua tim Pemantau Persiapan Penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2019 Komnas HAM, Hairansyah mengatakan putusan Mahkamkah Konstitusi (MK) yang membolehkan penggunaan e-KTP dan Suket untuk melakukan pencoblosan berdampak pada bertambahnya jumlah Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) serta berefek pada ketersidiaan jumlah surat suara.
"Permasalahan yang akan muncul adalah persoalan ketersediaan surat suara, dimana jumlah surat suara tidak mengalami perubahan, tetap berdasarkan DPT dan cadangan dua persen," kata Hairansyah.
Hairansyah mengingatkan persoalan di lapangan ini berpotensi menghilangkan hak pilih masyarakat dalam Pemilu 2019, dan bisa bertentangan dan konstitusi serta HAM hanya karena faktor-faktor administrasi kependudukan.
"Komnas HAM RI mendorong partisipasi masyarakat untuk melaporkan kepada pihak terkait apabila masih ada persoalan pemenuhan hak pilih yang disebabkan syarat-syarat administratif pemilihan," pungkas Hairansyah.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Nur Hidayah Perwitasari