Menuju konten utama

Komisi III Tuding SOP KPK Melanggar Undang-Undang

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI bersama KPK pada hari ini dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk mendesak pengubahan Standar Operasional Prosedur (SOP) milik Komisi Antikorupsi.

Komisi III Tuding SOP KPK Melanggar Undang-Undang
Ketua KPK Agus Raharjo (kiri) menyerahan daftar barang rampasan KPK ketika mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Serangan dari Komisi III DPR RI terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bareng KPK hari ini, Komisi III menuding sejumlah ketentuan dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) milik Lembaga Anti-Korupsi itu melanggar undang-undang.

Misalnya, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu mendesak KPK mengubah sejumlah ketentuan dalam SOP terkait penyidikan kasus korupsi. Dia menganggap SOP mengenai penyadapan yang dilakukan oleh KPK perlu diubah.

Masinton beralasan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tidak melalui proses perizinan yang sesuai aturan. "SOP ini harus dibatalkan, dan teknis penyadapan KPK harus mengikuti undang-undang. Ini pelanggaran HAM yang kita diamkan dan terus menerus terjadi," kata Masinton saat mengikuti RDP Komisi III bersama KPK pada Selasa (26/9/2017).

Dia mengklaim Komisi III tidak bermaksud mempreteli kewenangan KPK dalam hal penyadapan karena memang sudah diatur dalam pasal 12 UU KPK. "Yang penting sesuai dengan koridor hukum saja," kata Masinton.

Selain soal penyadapan, Masinton juga meminta SOP KPK terkait istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT) dihapus. "Di SOP KPK pasal 54 bagian 20 disebutkan ada OTT," kata Masinton.

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Erma Ranik menambahkan SOP KPK soal pendampingan tersangka oleh kuasa hukum perlu diperbarui. Dia menuduh SOP yang ada menyalahi KUHAP.

Dia mencatat, Pasal 109 ayat 7 SOP KPK menyatakan, apabila penasihat hukum terlalu dekat dengan tersangka, bisa diberi sanksi. Erma juga mempertanyakan Pasal 109 ayat 1 SOP KPK yang menyatakan penasihat hukum harus memiliki surat kuasa dari tersangka sebagai bukti.

"Mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum itu (bagian dari) HAM. Ini aneh SOP anda," kata Erma.

Erma berpendapat SOP itu tak sesuai ketentuan Pasal 69 KUHAP tahun 1981 yang menyatakan bahwa penasihat hukum berhak mendampingi tersangka sejak kasus ditetapkan.

Pimpinan KPK Tegaskan SOP Lembaganya Sesuai Undang-Undang

Menanggapi desakan Komisi III itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan SOP yang menjadi panduan kerja lembaganya dalam penegakan hukum sudah sesuai undang-undang. Karena itu, menurut Laode, tidak ada satu pun ketentuan dalam SOP KPK yang perlu dihapus atau diubah.

"Soal penyadapan, sudah ada di UU KPK. Mengenai perizinan, sudah ada Perpresnya. Tapi, MK menyebut harus ada peraturan yang lebih tinggi dari undang-undang. Kami masih menunggu itu," kata Laode di DPR saat masa skorsing RDP bersama Komisi III berlangsung.

Sementara, mengenai pendampingan kuasa hukum tersangka korupsi, Laode menyatakan tidak ada pembatasan yang melanggar HAM seperti yang disampaikan Erma.

"Kalau tidak pakai surat kuasa bagaimana? Di kepolisian pun begitu," kata Laode.

Laode menambahkan, dalam SOP KPK, juga tidak ada ketentuan soal pemisahan ruangan antara penasihat hukum dan tersangka. Tapi hanya dibatasi sekat saja. Hal serupa juga berlaku dalam standar FBI.

"Kami ingin memeriksa secara profesional. Kami punya standar sendiri," kata Laode.

RDP Komisi III bersama KPK pada hari ini dihentikan sementara pada 19.30 WIB untuk keperluan istirahat. Pada agenda rapat selanjutnya pada Selasa malam, pimpinan KPK baru menerima giliran secara resmi memberikan jawaban terhadap pertanyaan dan kritikan anggota Komisi III.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom