tirto.id - Pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2021 menghadirkan gambaran suram. Sebab, pandemi Covid-19 jadi dalih negara membatalkan atau membubarkan sebagian acara seni.
“Standar ganda digunakan negara selama pandemi. Acara seni yang melibatkan pejabat pemerintahan tetap terlaksana, sementara acara lain tidak diperbolehkan,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya, pada webinar bertajuk Dalih Baru Opresi pada Selasa, 19 April 2022.
“Pembatasan gerak warga negara memang dibutuhkan sampai titik tertentu, namun aturan yang tidak konsisten dan transparan menunjukkan keberpihakan negara terhadap kehidupan kebudayaan pihak yang berkuasa saja, bukan masyarakat secara luas. Pandemi jadi dalih baru opresi terhadap seni di negeri ini.”
Kebebasan berkesenian terbagi jadi enam jenis hak: mendapat perlindungan hak sosial dan ekonomi; berkarya tanpa sensor atau intimidasi; mendapat dukungan, jalur distribusi, dan pengupahan atas karya; ikut serta dalam kehidupan kebudayaan; berserikat; serta berpindah tempat. Sebagai bagian dari advokasinya untuk meningkatkan kualitas kebebasan berkesenian, Koalisi Seni mulai 2022 meluncurkan pemantauan pelanggaran hak-hak tersebut tiap tahun.
Pemantauan Koalisi Seni menunjukkan sepanjang 2021 terdapat 48 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian, 39 di antaranya terkait Covid-19. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang pelanggaran pada 2020 yang tercatat 12 kasus, semuanya terkait Covid-19. Untuk 51 kasus pelanggaran terkait Covid-19 pada 2020-2021, aktor pelanggar terbanyaknya ialah Polisi (32 kejadian), Satuan Tugas Covid-19 (15), Satuan Polisi Pamong Praja/Satpol PP (2), dan lainnya (2). Tiap kasus bisa terkait lebih dari satu matra seni, sehingga Koalisi Seni mendata matra seni terbanyak dilanggar kebebasannya pada 2020-2021 adalah tari (29), musik (16), teater (7), dan film (1).
Daftar pembatalan acara karena alasan Covid-19 menunjukkan sebagian besar pertunjukan seni luring semasa pandemi adalah seni yang diselenggarakan bersama dengan berbagai tradisi atau ritual kebudayaan seperti pernikahan, sunatan, dan perayaan hari besar. Di tengah harapan warga kota besar mengenai potensi internet sebagai media alternatif berkesenian semasa pandemi, daftar tersebut membuktikan bahwa internet tidak relevan bagi bentuk-bentuk seni ini.
“Para pelaku dan penghayat seni yang menjadikan seni mata pencaharian utama serta bagian integral dalam hidupnya kerap kali tersingkir dari narasi pemulihan ekonomi pasca pandemi yang bias industri dan bias perkotaan,” tutur Ratri. “Saat negara hanya melarang acara seni tanpa memberikan solusi finansial bagi seniman, maka ia melanggar hak pegiat seni mendapat perlindungan hak sosial dan ekonomi.”
Selain itu, pada 2021 juga terdapat pelanggaran hak berkarya tanpa sensor dan intimidasi. Enam mural yang mengkritisi pemerintahan Presiden Joko Widodo di beragam kota berujung pada penghapusan karya oleh Satpol PP maupun pemburuan terhadap kreatornya oleh Polisi. Sementara, mural mahasiswa Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya dihapus oleh rektorat.
Koalisi Seni pun mencatat absennya kebijakan yang berpihak pada perempuan dan gender minoritas lain, serta minimnya peraturan yang pro-pekerja seni informal. Deretan fakta ini menunjukkan seni masih menjadi prioritas terakhir pemerintah. Apalagi, ketika seni tidak masuk dalam logika industri, yakni menghasilkan keuntungan ekonomi yang masif, atau tidak dianggap sejalan dengan narasi pembangunan negara.
Maka, pemantauan yang menyeluruh dan berkala terhadap kebebasan berkesenian, termasuk mekanisme pelaporan dan aduan, dokumentasi, dan advokasi, menjadi satu-satunya cara masyarakat sipil mendesak negara membuat perbaikan struktural. Mekanisme pemantauan ini sedang dikembangkan Koalisi Seni dengan melibatkan para pemangku kepentingan ekosistem seni.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, berpendapat kondisi yang dipotret pemantauan Koalisi Seni ini menunjukkan fakta situasi demokrasi dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia dalam kondisi suram.
“The Economist Intelligence Unit dan Freedom Institute merilis indeks demokrasi dunia. Skor indeks Indonesia dalam lima tahun terakhir terjun bebas. Kita bisa dikatakan ada dalam demokrasi yang rusak (flawed democracy). Salah satu indikator kunci yang mengakibatkan buruknya penilaian terhadap demokrasi di Indonesia adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan berkesenian, yang merupakan hak sipil politik esensial dalam demokrasi justru semakin terancam. Temuan Koalisi Seni mengkonfirmasi hal tersebut,” katanya.
Namun, menurutnya seniman bisa bersiasat agar terus berkarya. Kiatnya, pegiat seni harus paham betul hak kebebasan berkesenian yang wajib dijamin negara. Seniman pun perlu berjejaring tak hanya dengan sesama seniman, tetapi jaringan masyarakat sipil yang lain maupun lembaga bantuan hukum yang dapat berkolaborasi untuk memperkuat advokasi hak berkesenian. Pegiat seni juga harus terus menyuarakan kepada pemerintah dan masyarakat soal kewajiban negara untuk melindungi hak warganya dalam demokrasi yang sehat di Indonesia.
Adapun musisi sekaligus peneliti, Rara Sekar, menyoroti absennya negara dalam melindungi hak sosial dan ekonomi seniman terutama selama pandemi. Meskipun negara melansir beberapa bantuan finansial bagi pegiat seni, mekanismenya sangat birokratis sehingga sulit diakses seniman.
“Banyak musisi yang hilang panggungnya, hilang juga kehidupannya. Tidak ada jaring pengaman bagi pekerja seni. Aku lihat teman-teman musisi jual alat musik seperti gitar dan keyboard, padahal itu alat produksi mereka. Mereka harus melakukan side hustle (pekerjaan sampingan) seperti memasak dan menjual makanan,” tuturnya.
“Ini memaksa pekerja seni membagi fokus dan mengurangi waktu mendalami karya. Ketika tidak ada modal, maka sulit menciptakan karya secara optimal, apalagi kalau diharapkan untuk selalu bikin karya yang mengandung kritik terhadap kondisi sosial politik.”
Banyaknya ketidakpastian pun menurut Rara memicu banyak seniman terpaksa melakukan swasensor.
“Tuntutan ekonomi dan industri musik, juga kondisi demokrasi yang serba nggak pasti – kita nggak tahu siapa yang bakal diciduk atau enggak – membuat banyak musisi melakukan swasensor. Kita semua berlindung di balik kiasan dan subteks dalam karya kita. Itu bentuk perlindungan diri, karena negara tidak melindungi kita,” paparnya.
Hasil pemantauan kebebasan berkesenian 2021 beserta presentasi dalam webinar ini dapat diunduh di website Koalisi Seni, www.koalisiseni.or.id.
Editor: Nuran Wibisono