tirto.id - Berdasar analisis koalisi masyarakat sipil ada sembilan bentuk kerawanan dalam kampanye media sosial yang
"Kami mengidentifikasi sembilan. Dan sembilan ini kita dapatkan berdasarkan penilaian yang dilakukan secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dan juga kajian juga," kata peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Maharddhika dalam diskusi daring pada Minggu (21/11/2020).
Selain Perludem, kajian ini juga dilakukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Center for Digital Society (CfDS), Koalisi Perempuan Indonesia, Generasi Melek Politik, Rumah Kebangsaan, Warga Muda, Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia dan Universitas Atma Jaya.
Bahaya pertama adalah tersebarnya hoaks, berita palsu, atau disinformasi yang memang bertujuan untuk menurunkan integritas dan kredibilitas penyelenggaraan Pilkada. Kedua, tersebarnya misinformasi yakni informasi keliru yang tidak dimaksudkan untuk menyesatkan khalayak.
Bahaya ketiga, perilaku non-otentik yang terkoordinasi. Artinya, ada pengerahan akun palsu atau anonim yang terkoordinasi untuk menyesatkan pengguna media sosial. Seringkali, ini juga melibatkan buzzer atau influencer guna menyebarkan propaganda atau bahkan hoaks.
Keempat, media sosial juga membuka ruang yang lebih lebar tersebarnya kampanye hitam yang terkoordinasi. Yakni sebuah upaya untuk menjatuhkan reputasi lawan politik alih-alih mengkritisi visi misinya
Bahaya Bot dalam Pilkada
Bahaya kelima, penggunaan bot atau sistem yang mensimulasikan manusia guna mendorong topik tertentu agar menjadi pembicaraan publik. Biasanya, influencer juga berpengaruh dalam kampanye tersebut, dan masih bagian dari perilaku non-otentik terkoodinasi.
Selanjutnya aliran dana kampanye yang tidak transparan. Dhika menyebut, seringkali dana kampanye yang dilaporkan ke KPU dan ditampilkan ke publik tidak sejalan dengan realita kampanye media sosial. Dikhawatirkan dana gelap itu digunakan untuk belanja iklan media sosial yang memungkinkan penargetan secara mikro.
Risiko Kedelapan adalah promosi atmosfer polarisasi yang mendorong politik identitas. Risiko kesembilan ialah penggunaan akun palsu atau anonim.
"Kami lihat regulasi belum memadai untuk menanggulangi sembilan risiko ini. Kan di UU Pilkada di pasal 69 itu lebih banyak soal larangan kampanye secara umum seperti mempersoalkan lambang negara, menghina SARA, sementara di PKPU sendiri pengaturan soal kampanye di media sosial masih teknis, berkaitan dengan pendaftaran akun, waktu beriklan dan lain-lain," kata Dhika.
Anggota Bawaslu Fritz Siregar mengakui ada beragam model pelanggaran. Sejauh ini, ada 38 hoaks yang muncul terkait Pilkada, selain itu Bawaslu memeriksa 380 URL dan mengajukan takedown terhadap 182 posting di media sosial.
Misalnya, harus diidentifikasi apakah sebuah konten bermasalah masuk dalam kategori pelanggaran Pilkada atau pelanggaran pidana. Sebab, lembaga yang menanganinya pun akan berbeda, jika itu pelanggaran pidana maka kepolisian yang menangani, jika itu pelanggaran Pilkada maka Bawaslu yang menangani.
Selain itu harus juga diidentifikasi apakah pelanggar aturan itu memang bagian dari tim kampanye pasangan calon tertentu, atau justru orang yang berniat menjatuhkan calon tertentu, atau masyarakat biasa.
"Ini sebuah sebuah lautan yang begitu luas yang tidak bisa satu lembaga pun mengawasinya sehingga peran dari dari berbagai lembaga itu sangat penting," kata Fritz dalam diskusi daring pada Minggu (21/11/2020).
Fritz mengatakan, sejauh ini pihaknya telah berkoodinasi dengan Kemkominfo untuk berusaha mengatasi konten bermasalah tersebut. Selain itu Bawaslu juga membuka layanan aduan melalui website atau WhatsApp bagi masyarakat yang menemukan konten bermasalah terkait Pilkada di media sosial.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali