tirto.id - Koalisi Publish What You Pay (PWYP) mendesak pemerintah untuk konsisten dengan kebijakan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batu bara, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Peneliti PWYP, Rizky Ananda mengatakan alasannya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasokan batu bara bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau pun menyelamatkan keuangan PLN, namun lebih dari itu, yaitu kebijakan itu sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan produksi batu bara yang selama puluhan tahun dieksploitasi tanpa batas.
"Pengendalian atau pengurangan produksi batu bara sangat dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi sekaligus mempertimbangkan makin menurunnya daya dukung lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan bagian dari strategi menjaga neraca sumber daya," ujar Rizky di Jakarta pada Rabu (1/8/2018).
Berdasarkan asumsi produksi batu bara 2016 sebesar 461 juta ton, maka kapasitas produksinya hanya sampai 2046.
"Perhitungan flat 461 ton setiap tahun. Tapi jika melihat tren konsumsi batu bara membengkak pastinya itu akan cepat habis. Kalau pemerkintah sendiri enggak mengendalikan itu," ujar Rizky.
Namun lebih lanjut, Rizky mengatakan bahwa pembatalan pencabutan DMO oleh Presiden Joko Widodo hanya bersifat meredam kegaduhan publik dalam sepekan terakhir ini.
Kegaduhan tersebut dipicu oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan pemerintah akan mencabut kebijakan kewajiban DMO bagi pelaku industri batu bara.
Luhut saat itu mengatakan bahwa, bukan hanya kewajiban pemenuhan kuota 25 persen penjualan batu bara ke dalam negeri yang dicabut, tapi termasuk juga diserahkannya kembali harga DMO batu bara kepada mekanisme pasar dengan tujuan untuk menyelamatkan keuangan negara.
Sebagai gantinya, perusahaan batu bara akan dikenakan iuran ekspor sebesar 2-3 dolar AS per ton yang akan dikelola oleh sebuah lembaga sebagaimana yang diterapkan pada industri kelapa sawit.
Menurut Rizky, meski dibatalkan isu pencabutan DMO itu masih dapat bergulir lagi, karena ada beberapa pihak yang melontarkan bahwa kebijakan tersebut masih dikaji.
"Sebut saja misalnya, pernyataan Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang menyebut rencana pembatalan pencabutan aturan DMO masih dalam tahapan evaluasi dan belum diputuskan. Atau pun pernyataan Menko Luhut yang akan terus mengkaji ulang pencabutan kebijakan DMO dan melihat peluang pelaksanaannya tahun depan," ujar Rizky.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yandri Daniel Damaledo