tirto.id - Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menuturkan status Papua ditingkatkan menjadi siaga tempur. Peningkatan status dilakukan usai jatuhnya korban jiwa di sisi TNI dalam operasi pembebasan pilot Susi Air, Kapten Philip Max Mehrtens.
"Tentu dengan kondisi seperti ini, khususnya di daerah tertentu, kami ubah jadi operasi siaga tempur. Di Natuna ada operasi siaga tempur laut, kalau di sini (daerah konflik di Papua) ada operasi siaga tempur darat, artinya ditingkatkan," ucap Yudo di Lanud Yohanis Kapiyau Timika, Selasa (18/4/2023).
Terkait hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun menolak dan mendesak agar rencana operasi siaga tempur dibatalkan. Sebab, mereka menilai itu merupakan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan.
"Kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit harus menjadi pelajaran berharga bagi presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua. Kejadian ini bukanlah satu-satunya peristiwa. Kapolri juga (pernah) merilis data 22 prajurit TNI dan Polri gugur sejak tahun 2022 hingga sekarang," kata salah satu perwakilan koalisi, Muhamad Isnur, dalam keterangan tertulis.
Selama ini pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan.
Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua. Isnur melanjutkan, evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan.
"Selama ini ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua," terang Isnur.
Lebih lanjut, dia menuturkan evaluasi operasi keamanan militeristik peru diiringi dengan upaya konkret penghentian spiral kekerasan di Papua. Salah satunya melalui jalan dialog damai.
Bukan Perubahan Pendekatan
Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menuturkan status siaga tempur darat bukan berarti perubahan pendekatan. Pendekatan lunak dengan upaya persuasif tersebut merupakan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Namun hal itu bukan berarti Polri-TNI tidak bergerak atau pasif.
Pada saat yang sama, aparat keamanan Indonesia tetap melakukan langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mendukung upaya penyelamatan. Misalnya dengan melakukan operasi mendekati area sasaran, melakukan pengintaian dan pengumpulan informasi untuk menilai peluang-peluang untuk melakukan tindakan penyelamatan.
"Termasuk juga memastikan situasi tetap kondusif melalui upaya penegakan hukum dan keamanan agar proses dialog dan negosiasi tetap bisa berjalan," kata Fahmi kepada Tirto, Selasa. Siaga tempur itu maksudnya adalah kondisi pasukan berada dalam kondisi siap untuk bertempur secara efektif.
"Artinya, semua bentuk persenjataan yang digunakan sudah siap tembak jika sewaktu-waktu ancaman hadir dan pasukan tidak perlu ragu-ragu untuk melepaskan tembakan ketika terjadi pengadangan atau serangan," sambung Fahmi. Ada dampak dari siaga tempur.
Dia menjelaskan, kondisi siaga tempur akan meningkatkan efektivitas dan mengurangi risiko kerugian bagi pasukan. Tetapi, hal itu juga memiliki dampak negatif yaitu meningkatkan potensi ancaman, intensitas kekerasan hingga rasa takut masyarakat.
"Namun saya kira itu sesuatu yang sulit terhindarkan di wilayah konflik bersenjata," pungkasnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Intan Umbari Prihatin