tirto.id - Mahkamah Agung (MA) membuka seleksi Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sejak Februari lalu. Kini, seleksi akan memasuki tahap akhir, yaitu profile assessment dan wawancara.
Namun, berdasar penelusuran Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) terhadap latar belakang 125 calon yang mengikuti seleksi, sebagian di antaranya memiliki rekam jejak buruk.
"Masih banyak catatan negatif terhadap rekam jejak para peserta seleksi. Ada lima poin utama yang perlu diwaspadai panitia seleksi," ujar peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR), Muhammad Rizky Yudha, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2019).
Pertama, terkait kelengkapan dokumen syarat administratif. Meskipun tahapan seleksi administrasi sudah selesai, menurut Rizky, koalisi menemukan ada calon terindikasi tidak memenuhi syarat.
Sebab, sejumlah kandidat tidak memenuhi syarat berpengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum.
"Dari CV para peserta, tim menemukan sembilan peserta yang tidak memenuhi syarat tersebut, namun lolos seleksi administrasi," kata Rizky.
Menurut dia, jika dikaitkan dengan kandidat berlatarbelakang advokat, jumlah itu kemungkinan bertambah. Hal ini karena MA tidak mewajibkan calon untuk mencantumkan bukti keanggotaan di organisasi advokat atau berita acara sumpah yang memastikan kandidat memenuhi syarat.
Padahal, kata Rizky, koalisi mencatat terdapat 80 advokat yang mendaftar seleksi, atau kategori peserta terbanyak.
Kedua, koalisi menemukan tidak banyak peserta yang memiliki kepakaran di bidang tindak pidana korupsi. Rizky menyesalkan hal ini karena kepakaran di bidang tindak pidana korupsi merupakan keahlian utama yang harus dimiliki oleh Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor.
"Hanya sedikit yang mencantumkan pengalamannya bersentuhan dengan isu antikorupsi. Padahal profesi penegak hukum mendominasi pendaftaran," jelas Rizky.
Ketiga, soal kepatuhan calon terhadap prinsip antikorupsi. Koalisi menemukan tidak semua calon mematuhi kewajiban menyetor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"LHKPN merupakan saringan pertama untuk mencegah terpilihnya Hakim Ad Hoc bermasalah. Tim mencatat, dari 41 calon yang wajib lapor LHKPN, 18 orang tidak melaporkan kekayaannya," kata Rizky.
Berdasarkan penelusuran koalisi di pemberitaan media, ada juga calon yang pernah dijatuhi sanksi disiplin. Mereka diduga mengelabui panitia seleksi dengan memberikan informasi palsu di berkas pendaftaran.
Keempat, konflik kepentingan calon yang memiliki afiliasi politik. Rizky menilai afiliasi politik para calon dapat menghambat penegakan hukum di kasus korupsi yang kerap melibatkan politikus.
"MA perlu mencegah agar di kemudian hari hal ini tidak menyandera pengadilan dan [munculnya] persepsi negatif publik terhadap independensi pengadilan," ujar dia.
"Ada 16 calon yang memiliki afiliasi politik karena pernah menjadi calon atau anggota legislatif, anggota ormas sayap partai atau tim kampanye," tambah Rizky.
Selain itu, koalisi juga menemukan ada 9 kandidat yang pernah menjadi kuasa hukum terpidana korupsi. Rizky menegaskan potensi konflik kepentingan 9 kandidat itu juga perlu diwaspadai oleh panitia seleksi.
"Hal ini akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan jika calon tersebut memeriksa kasus yang merupakan pengembangan dari kasus-kasus yang dulu pernah ia tangani," ujar Rizky.
Kelima, ada peserta "langganan" mengikuti seleksi. Rizky mengakui tidak ada larangan kandidat mengikuti seleksi beberapa kali. Namun, jika mereka lolos, kualitas seleksi dikhawatirkan turun.
"Ada 13 calon yang pernah mengikuti seleksi lebih dari satu kali. Hal ini dapat menjadi masalah bila MA menurunkan standar rekrutmennya dan memilih calon tersebut karena kebutuhan untuk menggantikan Hakim Ad Hoc yang akan habis masa jabatannya," kata dia.
Koalisi Pemantau Peradilan telah menyerahkan hasil penelusuran rekam jejak itu kepada MA pada 4 Juli lalu. Laporan itu secara resmi telah diterima oleh Ketua Muda Kamar Pidana MA, Suhadi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom