Menuju konten utama
Newsplus

Prabowo Kumpulkan Hakim, Prinsip Trias Politica Rawan Dilanggar

Sejumlah pengamat hukum dan politik memandang pertemuan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi.

Prabowo Kumpulkan Hakim, Prinsip Trias Politica Rawan Dilanggar
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Ketua Mahakamah Agung (MA) Sunarto (kiri) dan Wakil ketua MA bidang Non Yudisial Suharto (kanan) menghadiri sidang istimewa laporan tahunan MA 2024 di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/2/2025). Dalam laporan tahunan yang mengusung tema Dengan Integritas, Peradilan Berkualitas itu MA telah memutus sebanyak 30.908 perkara sepanjang tahun 2024 dari total 31.138 beban perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wpa.

tirto.id - Sebanyak 150 hakim se-Indonesia menghadiri undangan Presiden Prabowo Subianto untuk hadir ke Istana pada Kamis (20/2/2025) pekan lalu. Presiden juga ditemani oleh sejumlah menteri di bidang hukum, saat menjamu ratusan hakim tersebut. Sehari sebelumnya, Prabowo juga menghadiri sidang istimewa laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) tahun 2024 di Gedung MA, Jakarta Pusat.

Usai agenda persamuhan antara Presiden dan para hakim di Istana Kepresidenan, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa mereka meminta backup dari para hakim untuk melakukan penegakan hukum. Prabowo, kata Yusril, menyadari bahwa pemerintah tidak mengintervensi kekuasaan yudikatif. Namun, lembaga yudikatif sangat dibutuhkan perannya mengadili pihak yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat.

“Pak Presiden mengambil satu keputusan dan di-backup oleh dasar hukum yang kuat dan benar dan karena itu, ya beliau mengatakan, ya mohon juga ada kerjasama dari Mahkamah Agung untuk ya mem-backup langkah-langkah yang benar ini,” kata Yusril usai pertemuan di Istana, Kamis pekan lalu.

Sejumlah pengamat hukum dan politik memandang pertemuan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi. Pasalnya, Indonesia menganut prinsip trias politica yang memisahkan tegas kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ini berguna untuk memperkuat fungsi kontrol dan keseimbangan kekuasaan.

Namun, persamuhan antara Presiden Prabowo dan ratusan hakim di Istana rawan membuat batas-batas itu runtuh. Dalam teori ketatanegaraan, pemisahan kekuasaan bukan sekadar gagasan akademik, melainkan sebuah fondasi demokrasi yang sehat. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berdiri sejajar tanpa adanya celah untuk saling mengintervensi.

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai pemanggilan ratusan hakim ke istana jelas dalam kacamata desain check and balances akan mempengaruhi hubungan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Jadi akan ada semacam upaya untuk menjadikan hakim-hakim terkondisikan di bawah eksekutif.

“Semacam upaya untuk menjadikan hakim-hakim tersubordinasi kekuasaan eksekutif,” ucap Castro, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto, Senin (24/2/2025).

Castro memandang perjamuan ratusan hakim di Istana Kepresidenan bertentangan dengan prinsip check and balances. Dampaknya akan mempengaruhi independensi hakim. Misalnya Prabowo memang mengumpulkan para hakim untuk membicarakan soal kesejahteraan, tak perlu sampai harus bertemu dan melakukan pertemuan tertutup.

Karena dampak dari persamuhan itu rawan membuat kemerdekaan hakim terganggu oleh ‘permintaan’ kekuasaan eksekutif. Terlebih hal itu membuat kontrol antarkekuasaan menjadi terganggu.

“Kalau memang peduli dengan nasib hakim misalnya, yang konon juga menjadi substansi pembicaraan, ya kan tidak harus dipanggil. Langsung eksekusi aja bisa,” kata Castro.

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, menyatakan bahwa pertemuan para hakim dengan presiden di Istana merupakan usaha-usaha yang bisa mengaburkan trias politica. Intan memprediksi, pemerintah tentu menepis tuduhan adanya intervensi langsung. Meski begitu, menurutnya, walaupun kegiatan yang dilakukan di Istana hanya silaturahmi dan makan-makan, namun bentuk-bentuk intervensi bisa dikemas dengan banyak cara.

“Tidak perlu secara eksplisit menyatakan keinginan untuk ikut campur atau lainnya untuk bisa dikategorikan sebagai intervensi,” ucap Intan kepada wartawan Tirto, Senin.

Intan melihat banyak pernyataan-pernyataan dari pemerintah yang mengungkapkan bahwa Prabowo seolah memberikan arahan kepada para hakim. Sebagaimana isi pertemuan yang dikemukakan oleh Menko Yusril. Pengamatan Intan, pihak Kantor Komunikasi Kepresidenan juga menjelaskan pertemuan itu sebagai usaha untuk merangkul dan bersinergi.

Pernyataan-pernyataan lingkar Istana patut dipertanyakan, menurut Intan. Untuk apa kepala cabang eksekutif, yakni presiden, memberikan arahan kepada kekuasaan yudikatif. Sebab, sikap tersebut tidak relevan dan keluar jalur mekanisme checks and balances yang sudah diatur dalam konstitusi.

Lembaga kehakiman, kata Intan, memang masih punya masalah di internal, termasuk mafia hukum dan praktik korupsi. Namun, kekuasaan yudikatif itu sudah punya standarnya sendiri dalam melakukan tugas mewujudkan keadilan di masyarakat. Dengan demikian, hal ini tidak perlu diarahkan lagi oleh seorang Presiden.

Ia merasa, sudah mulai jelas, bahwa ada sebuah kesepahaman tertentu yang ingin dibangun dengan para hakim sampai harus diwadahi oleh pertemuan khusus. Jika bicara soal jaminan kesejahteraan, hal itu seharusnya sudah kewajiban dari kementerian dan lembaga terkait untuk dapat memenuhi hak pekerjanya. Tidak perlu menunggu momen undangan khusus ke Istana untuk bisa menjanjikan hal tersebut.

“Karena ini adalah kewajiban, bukan charity. Apalagi, setelah diungkapkan niatan-niatannya untuk 'backup' dan lain sebagainya,” ungkap Intan.

Tirto telah berupaya meminta konfirmasi soal pertemuan antara para hakim dan presiden kepada Mahkamah Agung, namun Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, Suharto, menolak memberikan komentar. Sementara Juru bicara MA, Yanto, menyatakan bertanya dahulu soal ini kepada para pimpinan. Namun Yanto tidak memberikan jawaban lagi setelahnya.

“Sebentar ya mas saya tanyakan pimpinan dulu,” ujar Yanto lewat pesan singkat.

Intervensi Kemerdekaan Kehakiman

Secara hukum, memang tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang presiden bertemu dengan para hakim. Namun, esensi hukum tidak hanya terletak pada aturan di atas kertas, tetapi juga spirit dan etika. Peradilan yang independen adalah prasyarat bagi negara hukum. Tanpa itu, hukum rawan menjadi alat bagi penguasa, bukan penegak keadilan bagi rakyat.

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai Herlambang mengundang ratusan hakim ke Istana Kepresidenan jelas bertentangan dengan etika politik. Menurutnya, lembaga eksekutif dan kekuasaan yudisial itu seharusnya menjaga batasan dan saling menyeimbangkan.

Penyelenggara negara seharusnya berhati-hati mengambil tindakan. Mengundang lembaga yudikatif ke Istana rawan dibaca sebagai intervensi prinsip kemandirian kehakiman. Senada, ia juga menganggap langkah ini berlawanan dengan prinsip trias politica.

“Sayangnya pada akhirnya malah datang,” ucap Herlambang kepada wartawan Tirto, Senin (24/2/2025).

Herlambang memandang, kepentingan politik kekuasaan dalam dua periode terakhir rezim Presiden Joko Widodo sering kali mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Padahal, kata dia, di pemerintahan baru ini, masyarakat berharap kekuasaan kehakiman jadi benteng keadilan bagi publik. Bukannya berakhir menjadi organ yang justru bertentangan dengan kepentingan publik. Sayangnya, persamuhan presiden dan ratusan hakim di Istana dapat dibaca sebagai pertanda bahwa yudisialisasi politik akan semakin memburuk.

Ia juga menilai, kekuasaan eksekutif dan legislatif saat ini terlalu banyak mencampuri dan ofensif terhadap kekuasaan yudikatif. Seharusnya semua pihak menjaga perannya masing-masing. Herlambang juga bilang, seharusnya Komisi Yudisial berperan aktif mengawasi etika para hakim.

“Bagi saya jelas ada kode etik hakim yang menyatakan bahwa bertemu para pihak itu tidak boleh. Bertemu dengan pihak-pihak yang sering dipersoalkan seperti pemerintah, itu tidak boleh. Sepatutnya disanksi,” ucap Herlambang.

Kemandirian kehakiman sendiri sudah jelas diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Di situ ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman turut menegaskan kedudukan kemandirian hakim di dalam Pasal 3 ayat (1) yakni menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

Secara etik, hal kemandirian kehakiman juga ditegaskan dalam Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Di dalamnya, disebutkan bahwa hakim harus menjaga integritas dan prinsip independensi. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan terbebas dari pengaruh, tekanan, ancaman, hingga bujukan.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, memandang tindakan Presiden Prabowo mengajak kekuasaan yudikatif ke Istana memperlemah posisi tawar para hakim terhadap kekuasaan eksekutif. Ia menilai, sangat mungkin bahwa hakim akan menjadi tunduk pada kekuasaan eksekutif jika memang terjadi pesanan atau arahan dari Istana.

Kunto menilai, saat ini saja, aparat penegak hukum, seperti Polri, sudah sangat loyal kepada Presiden. Pengaruh Prabowo diprediksi semakin besar jika kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif saling berselingkuh. Artinya trias politica berganti menjadi orkestrasi kekuasaan yang terpusat kepada presiden.

“Maka manipulasi kekuasaan, korupsi kekuasaan, akan banyak abuse of power yang terjadi ketika nggak ada sistem kontrolnya. Kayak mobil yang gaspol tapi nggak ada remnya maka siap-siap terjadi kecelakaan,” ucap Kunto kepada wartawan Tirto, Senin.

Adapun Menteri Hukum (Menkum), Supratman Andi Agtas menepis kekhawatiran intervensi kekuasaan kehakiman yang dilakukan Presiden RI Prabowo Subianto usai mengumpulkan 150 hakim-hakim se-Indonesia di Istana Negara pekan lalu. Supratman yang hadir langsung dalam pertemuan itu mengatakan bahwa Presiden Prabowo justru memberikan penegasan kepada para hakim untuk senantiasa menegakkan keadilan dalam memutus perkara.

Dia menyebut, Presiden Prabowo telah menekankan kepada para hakim agar menjaga integritas dan independensi demi tegaknya hukum dan keadilan.

“Beliau (Presiden Prabowo) cuma menitipkan pesan kepada seluruh hakim, baik itu Hakim Agung, juga Hakim Banding, maupun tingkat pertama, beliau meminta supaya menegakkan keadilan, membela kaum lemah. Enggak ada yang lain, karena kan beda kamar,” tuturnya di Jakarta, Minggu (23/2) lalu, seperti dikutip Antara.

Baca juga artikel terkait HAKIM atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty