tirto.id - Hakim Agung Gayus Lumbuun menyikapi dengan keras kembali tertangkapnya seorang hakim dalam kasus suap. Akhir pekan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tersangka penerima suap, yakni Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sulawesi Utara, Hakim Sudiwardono.
Gayus menyatakan sudah saatnya Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali dengan sukarela mundur untuk tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan institusi MA dan jajaran peradilan di bawahnya. Langkah itu, menurut dia, demi mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan.
Pendapat Gayus itu didasarkan pada Maklumat Ketua MA RI Nomor 01/Maklumat/IX/2017 tanggal 11 September 2017. Maklumat itu menegaskan dan memastikan bahwa tidak akan ada lagi hakim dan aparatur di bawah MA yang melakukan perbuatan merendahkan wibawa, kehormatan dan wibawa MA dan peradilan di bawahnya.
Menurut Gayus, berdasar maklumat itu, MA akan memberhentikan pimpinan Mahkamah Agung atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung apabila ditemukan bukti bahwa pengawasan dan pembinaan tersebut tidak berjalan secara berkala dan berkesinambungan.
Dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip Antara, menurut Gayus, untuk menyikapi persoalan ini, lembaga normatif tertinggi dalam bentuk musyawarah di MA adalah pleno lengkap Hakim Agung.
Dia menambahkan seluruh jajaran peradilan di bawah MA juga harus segera dievaluasi. Menurut dia, evaluasi itu penting dilakukan di semua Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), hingga MA karena banyak kasus penyimpangan yang muncul belakangan.
Dia mengeluhkan banyak temuan penyimpangan yang terjadi secara masif di lingkungan peradilan, baik dengan pelaku aparatur kepaniteraan maupun hakim. Kasus penangkapan Hakim Sudiwardono menambah panjang daftar penyimpangan aparat peradilan tersebut.
Gayus berpendapat kasus-kasus penyimpangan aparat peradilan akan sering terjadi lagi apabila posisi pimpinan masih diduduki oleh orang-orang lama yang belum dievaluasi kinerjanya. Dia mengusulkan MA perlu segera mengganti pemegang posisi pimpinan PN maupun PT yang memiliki kinerja dan rekam jejak buruk.
Dia menyimpulkan, ada situasi memburuk karena banyak aparatur pengadilan, baik panitera maupun hakim, di tingkat PN dan PT terjerat kasus suap. Dia curiga banyak aparatus pengadilan sudah tidak takut lagi mengabaikan aturan hukum, moral dan integritas yang sepatutnya mereka hormati dan taati.
KPK sudah mengumumkan menahan Aditya Anugrah Moha, politikus Partai Golkar dan anggota Komisi XI DPR RI, sejak Minggu dini hari (8/10/2017). Di kasus yang sama, Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono juga ikut ditahan.
Aditya dan Sudiwardono teringkus dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di sebuah hotel di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat, pada Jumat malam (6/10/2017). OTT itu mengamankan bukti uang senilai 64 ribu dolar Singapura dari total komitmen sogokan sebesar Rp1 miliar.
Aditya Moha dan Sudiwardono sudah ditetapkan, masing-masing sebagai tersangka pemberi dan penerima suap. Berdasar temuan sementara KPK, pemberian suap ini diduga untuk mempengaruhi putusan banding dalam perkara korupsi yang melibatkan Marlina Moha Siahaan selaku Bupati kabupaten Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2015. Uang juga diberikan agar Marlina tidak perlu ditahan. Marlina sudah divonis bersalah 5 tahun penjara dalam perkara korupsi TPAPD Bolaang Mongondow. Ia adalah ibu dari Aditya Moha.
Pemberian uang dari Aditya kepada Sudiwardono sudah dilakukan sejak pertengahan Agustus 2017, yaitu sebesar 60 ribu dolar Singapura di Manado. Pada Jumat kemarin (6/10/2017), Aditya kembali menyerahkan suap senilai 30 ribu dolar Singapura di pintu darurat salah satu hotel di Jakarta. Penyidik KPK masih menemukan ada uang 11 ribu dolar Singapura di mobil Aditya.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom