Menuju konten utama

KLHK Sebut Hambatan 4 Wisata Super Prioritas Bukan dari Instansinya

KLHK memastikan kendala yang menghambat untuk mempercepat empat kawasan wisata “super” prioritas untuk 10 Bali Baru bukan berasal dari instansinya.

KLHK Sebut Hambatan 4 Wisata Super Prioritas Bukan dari Instansinya
Sejumlah wisatawan bermain selancar di Pantai Kuta, Bali, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz.

tirto.id - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan bahwa kendala yang menghambat untuk mempercepat empat kawasan wisata “super” prioritas untuk 10 Bali Baru bukan berasal dari instansinya.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK Sigit Hardiwinarto mengatakan kendala pembayaran penukaran lahan hutan yang dilepas adalah urusan otoritas wilayah terkait.

KLHK, kata Sigit, hanya terbatas mengurusi tukar-menukar lahan hutan tanpa memperhitungkan berapa nilai rupiah yang harus dibayarkan. Dalam hal ini memastikan agar setiap luas hutan yang dilepas dapat diganti sejumlah yang sudah tumbuh.

“Kalau itu ranahnya badan otoritas masing-masing. Pihak kehutanan enggak memikirkan berapa rupiah. Yang penting fisik aja. Ini ada 1 hektar yang diminta maka yang harus diganti ya harus 1 hektar lagi,” ucap Sigit kepada reporter Tirto.id saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (11/7).

Sigit menjelaskan, sampai saat ini dari keempat wilayah itu, hanya Toba (Sumatra Utara) yang sudah rampung tukar-menukar pelepasan kawasan hutan. Selebihnya masih terganjal di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).

Kementerian ATR kata Sigit memang harus terlebih dahulu melakukan review terhadap wilayah yang ingin dilepas. Terutama memastikan kajian tata ruangnya mendukung hal itu dapat dilakukan.

“Kalau yang Toba sudah clear. Borobudur lagi proses. Labuan Bajo juga masih terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW). Nanti kalau sudah clear baru masuk ke kami untuk ditelaah,” ucap Sigit.

Sebelumnya, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengatakan, proyek kawasan prioritas itu terganjal perubahan fungsi kawasan hutan karena memerlukan dana untuk biaya penggantian lahan yang telah berubah peruntukannya.

Dia pun mengusulkan diskresi agar biaya penggantian kawasan hutan itu tidak perlu disediakan. Tanpa diskresi seperti itu, ia khawatir proyek tak kunjung dapat berjalan.

"Sebagian besar lahan [hutan] di Indonesia dimiliki KLHK, berarti harus ada swap atau penggantian,” kata Triawan kepada wartawan di kantor Kemenko Bidang Kemaritiman, Jakarta pada Rabu (10/7/2019).

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno