Menuju konten utama
Seri Laporan I:

Kisah PNS Disabilitas dalam Lingkungan Kerja yang Tak Bersahabat

PNS penyandang disabilitas kerap berhadapan dengan lingkungan kerja yang tak memadai.

Kisah PNS Disabilitas dalam Lingkungan Kerja yang Tak Bersahabat
Pencari kerja dari kalangan penyandang disabiltas melamar kerja di stan disabilitas pada Job Fair Dinas Tenaga Kerja Kota Tasikmalaya di Gor Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (30/7/2019). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/ama.

tirto.id - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mewajibkan berbagai instansi untuk mempekerjakan penyandang disabilitas, setidaknya dua persen dari total pegawai. Pada Pasal 53 tertulis lembaga yang wajib melaksanakan itu adalah instansi di pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Namun itu ternyata tak cukup. Lingkungan yang tak bersahabat dan sarana penunjang tak memadai kerap jadi batu sandungan para pegawai negeri sipil disabilitas bekerja maksimal.

Kepada reporter Tirto, Wahyu Tribowo (40), penyandang tuli yang bekerja di Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga D.I. Yogyakarta, mengeluh kalau dia “banyak enggak terpakai” di instansi sebelumnya.

11 tahun lalu Wahyu menyabet medali emas dari cabang olahraga bulutangkis nomor ganda putra pada Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) 2008. Ia pun diberi kesempatan oleh pemerintah menjadi CPNS jalur atlet berprestasi.

Ia mendaftar sebagai pelatih olahraga di bawah BPO Dispenpora DIY. Namun Wahyu malah ditempatkan sebagai pelatih olahraga di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina. Tentu ini masalah bagi Wahyu. Ia yang sehari-hari berkomunikasi lewat gerak bibir dipaksa berkomunikasi dengan siswa disabilitas psikososial.

Akhirnya ia dipindah ke kantornya yang sekarang sebagai Koordinator Program Kegiatan Olahraga Pelajar Disabilitas di daerah dan nasional. Tugasnya: membina dan mengirim atlet daerah dalam pelbagai acara olahraga.

Wahyu merasa sejak pindah kantor dia lebih diberdayakan. Gaji dan jam kerja yang diberikan juga setara dengan pekerjaan pada umumnya yang punya golongan sama dengan dia. Selain itu, ia pun berkesempatan meningkatkan jenjang karier.

“Kalau kerja di BPO merasa terpakai. Dapat banyak pengalaman kerja, dapat meningkatkan karier,” tutur Wahyu.

Namun, kesulitan berkomunikasi dengan kolega masih ia rasakan sesekali, khususnya saat menghadiri pertemuan. Wahyu tak punya akses ke penerjemah bahasa isyarat. Akibatnya, ia sering ketinggalan informasi dan tidak tahu tindak lanjut pekerjaannya.

“Kadang salah sambung, salah tangkap, salah konsep,” katanya. “Pernah terima keluhan soal kinerja, tapi mau gimana lagi?”

Masalah dengan lingkungan kerja juga dirasakan Achmad Budi Santoso (22), seorang penyandang disabilitas daksa.

Sebetulnya Budi tak kesulitan kala harus berjalan di kantornya, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Jakarta. Ia masih mampu berjalan dengan tongkat hingga ke ruangannya di lantai 11. Namun, ia tak menampik bahwa bangunan kantornya belum layak untuk penyandang disabilitas.

Kepada reporter Tirto, Budi mengatakan di kantornya masih minim bidang miring. Ini tentu menyulitkan pengguna kursi roda. Kata dia, bidang miring hanya ada di belakang kantor, sedangkan di masjid atau kantin, dua tempat penting bagi siapa pun, belum ada.

“Kalau saya bisa naik tangga. Yang sulit itu untuk teman-teman disabilitas yang pakai kursi roda,” ujar Budi.

Selain Budi, di Kemenko PMK hanya ada satu penyandang disabilitas lain, yakni atasannya. Budi kini bertugas menghimpun dan mengelola data program disabilitas di kementerian/lembaga yang dikoordinasikan Kemenko PMK. Sedangkan atasannya merupakan Kasubbid Kesejahteraan Disabilitas.

Diragukan Kolega

Cerita lain datang dari Presti Murni Setiati (32). Presti merupakan penyandang disabilitas netra yang bekerja sebagai guru fikih di MTS Negeri 2 Kebumen. Sama dengan guru pada umumnya, Presti mengajar pada hari Senin hingga Sabtu.

Pekerjaannya pun sama seperti guru lainnya: menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), silabus, program tahunan, program semester, evaluasi pembelajaran penilaian, dan tentu saja mengajar di kelas.

Namun ia terkendala melakukan itu semua. Bukan karena tak mampu, tapi peranti yang disediakan untuknya tak mumpuni.

“Dalam pembuatan administrasi pembelajaran tersebut, kesulitan yang saya alami adalah pada saat editing. Editing di sini bukan editing bahasa, akan tetapi editing tampilan, kerapian, dan tampilan lain,” ujar Presti kepada reporter Tirto, Kamis (5/12/2019).

Para kolega juga kerap meragukan kemampuan Presti. Kepala Madrasah khawatir bila Presti tidak bisa mengakses buku referensi, menulis, atau mengetik. Sementara Kepala Tata Usaha bahkan pernah khawatir siswa akan kabur ketika Presti mengajar.

Untuk menjawab kekhawatiran para siswa kabur, Presti mengatakan dia bisa mendengar derap langkah dengan jelas sekecil apa pun suaranya. Sementara terkait ketakutan tak bisa mengakses buku, dia “dengan riang menjelaskan program pembaca layar di komputer dan smartphone.”

Ia juga sedikit banyak dibantu seorang guru yang baik bernama Tri Basmini. Tri membantunya bahkan sejak Presti pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Salah satu bantuan yang paling sering diberikan adalah membantu membacakan surat cetak.

Kini keraguan itu sudah sirna. Presti bisa membuktikan pada rekan kerjanya bahwa ia mampu bekerja dengan baik. Muridnya pun menghormati dan tak jarang mengantarnya ke ruang kelas agar bisa mengajar tepat waktu.

Naskah Current Issue ini merupakan laporan yang disajikan secara berantai. Berikut serial laporan "Hak PNS Disabilitas" ini :Jalan Terjal Penyandang Disabilitas Mendaftar CPNS (klik ini untuk membacanya).

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika