tirto.id - Muhammad Alhafikh (21) merupakan salah satu mahasiswa asal Aceh yang bercita-cita untuk menjadi PNS di Kementerian Perhubungan. Namun, dalam perjalanannya, ia menemui kekhawatiran. Ini bermula saat dia melihat ada sejumlah pembatasan bentuk disabilitas dalam persyaratan rekrutmen CPNS yang tengah berlangsung.
Alhafikh merupakan seorang tuna daksa dan low vision. Ia menyayangkan adanya pembatasan bentuk-bentuk disabilitas yang menjadi persyaratan CPNS. Misalnya di Kementerian Pertahanan (PDF), terdapat sejumlah syarat untuk pelamar disabilitas. Kriteria disabilitas yang diatur yakni mampu melihat, mendengar dan berbicara dengan baik. Kemudian juga mampu bergerak dengan menggunakan alat bantu berjalan, selain kursi roda.
Kementerian Perindustrian juga mengatur bentuk disabilitas yang diterima, seperti harus mampu berjalan menggunakan alat bantu selain kursi roda. Alasannya, mereka belum memiliki fasilitas memungkinkan. Syarat serupa juga datang dari Kementerian Komunikasi dan informatika (PDF) pun memberikan pengecualian untuk disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Instansi lain yang mengatur syarat disabilitas yakni Kejaksaan. Di situ, para pelamarnya tidak buta warna baik parsial maupun total, tidak cacat fisik, serta tidak cacat mental.
Sejumlah pengecualian tersebut, menurut Alhafikh, justru menunjukan sikap diskriminasi pemerintah dengan memilah-milah bentuk disabilitas tertentu yang bisa melamar pekerjaan dan duduk di bangku pemerintahan.
"Otomatis bermasalah karena di Indonesia kan sudah ada UU disabilitas yang menyantumkan hak-hak disabilitas, termasuk hak untuk terjun langsung ke dunia kerja," ujarnya kepada reporter Tirto pada Jumat (15/11/2019)
"Jadi gak seharusnya pemerintah untuk memilah bentuk disabilitas, karena bentuk disabilitas itu beragam," tegasnya.
Pegiat isu disabilitas di Young Voices Indonesia, Ilma Rivai (23), pun mengkritik bentuk pemilahan jenis disabilitas yang mampu mendaftarkan diri dalam CPNS. Ilma pun termasuk tuna daksa.
"Kalau bilang inklusif, seharusnya untuk semua disabilitas dong gitu, bukan hanya untuk bentuk-bentuk disabilitas tertentu," tegasnya kepada reporter Tirto pada Jumat (15/11/2019).
Ilma pun menilai bahwa sikap pemerintah yang malah memberikan ruang hanya untuk bentuk disabilitas tertentu, serta memberikan sejumlah pembatasan, justru menunjukan bentuk ketidakpahaman pemerintah soal inklusif.
"Kami [jadi] tahu bahwa ternyata pemerintah tuh gak paham makna inklusif dan gak tahu kalau disabilitas itu ada banyak macamnya," ungkap Ilma.
Dengan itu, Ilma menilai jika pemerintah memang serius untuk memberikan ruang dan hak kerja bagi orang dengan disabilitas, seharusnya pemerintah bisa lebih memahami hak-haknya, serta mengetahui jenis-jenis disabilitas.
"Supaya mereka bisa mengimplementasikan ke peraturan-peraturannya jadi gak terlihat bias atau memihak bentuk disabilitas tertentu," tegas Ilma.
"Kalau mau bilang setara ya setaranya benar-benar setara tanpa ada sekat-sekat dalam bentuk aturan yang aneh itu," pungkasnya.
Warganet Bikin Petisi ke Pemerintah
"Mari serukan kepada pemangku kepentingan agar rekrutmen CPNS bisa terbuka untuk semua ragam disabilitas. Tanpa adanya diskriminasi. Semua ditentukan oleh kompetensi dan kapabilitas masing-masing," tegas Mukhanif Yasin Yusup dalam petisi di Change.org.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang melihat seseorang dari sisi kualitasnya, bukan dari segi fisik dan sejenisnya," lanjutnya.
Seruan Mukhanif tersebut ditujukan untuk Presiden Joko Widodo, Pemerintah Indonesia, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Menurut Mukhanif, sejumlah poin dalam persyaratan CPNS masih mendiskriminasi bentuk-bentuk disabilitas tertentu.
Landasan yang digunakan dalam petisi tersebut adalah Undang-undang No 8 Tahun 2016 (PDF) yang mengatakan bahwa "NKRI telah menjamin bahwa penyandang disabilitas bebas dari diskriminasi dalam usaha mendapatkan pekerjaan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk dalam usaha menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparat Sipil Negara (ASN)".
Mukhanif mengakui bahwa pemerintah sudah memberikan alokasi formasi orang dengan disabilitas dalam rekrutmen CPNS, tapi sayangnya, pemerintah belum memberikan peluang setara bagi semua ragam disabilitas.
Padahal dalam Pasal 1 ayat 2 secara jelas tertulis bahwa semua orang dengan disabilitas memiliki kesamaan kesempatan dalam segala aspek penyelenggara negara dan masyarakat. Selain itu, di ayat 7, pemerintah mengatur tentang aksesibilitas, yakni kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
Jika menilik kedua pasal tersebut, maka lembaga negara tak ada alasan untuk membatasi orang dengan disabilitas. Ini termasuk alasan “belum memiliki fasilitas”.
Dengan itu, Mukhanif meminta agar pemangku kepentingan dan pemerintah bisa membuka rekrutmen CPNS untuk semua ragam disabilitas.
"Tanpa adanya diskriminasi. Semua ditentukan oleh kompetensi dan kapabilitas masing-masing. Yang nantinya akan ditentukan selama proses seleksi," tegas Mukhanif.
"Jika memang selama menjalani seleksi dianggap tidak kompeten, misalnya saat wawancara dan/atau praktik kerja. Bangsa yang besar adalah bangsa yang melihat seseorang dari sisi kualitasnya, bukan dari segi fisik dan sejenisnya," lanjutnya.
Dunia Kerja Belum Ramah Terhadap Disabilitas
Pada Tahun 2018, Tempo pernah melaporkan bahwa baru satu persen orang dengan disabilitas bekerja di sektor formal. Menteri Ketenagakerjaan saat itu, Hanif Dhakiri memaparkan, dari 440 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 237 ribu orang, tenaga kerja disabilitas yang terserap hanya 2.851.
Dalam laporan berjudul “Six problems that exclude disable people in Indonesia from public life” yang dimuat di The Conversation, Rezanti Putri Pramana pernah menuliskan tentang enam masalah bagi disabilitas di Indonesia dari lingkungan mereka, salah satunya yakni hambatan sistemik.
Saat ini, penyandang disabilitas di Indonesia masih memiliki keterbatasan untuk turut serta dalam pembangunan negara. Hal tersebut muncul karena adanya stigma sosial bagi orang dengan disabilitas. Kebanyakan orang masih menganggap remeh kemampuan mereka.
Akibat dari stigma sosial, banyak penyandang disabilitas yang memilih untuk tidak sekolah dan akhirnua berdampak terhadap pekerjaan mereka ke depan.
“Banyak orang disabilitas tidak dapat menemukan pekerjaan. Data mencatat bahwa hanya 24% dari orang-orang penyandang disabilitas berusia antara 18 hingga 64 tahun yang direkrut pada tahun 2015. Sedangkan tingkat perekrutan untuk orang non-disabilitas dalam kelompok usia yang sama yakni 42,8%,” tulis Pramana.
Saat reporter Tirto mencoba untuk mengkonfirmasinya ke sejumlah kementerian yang menerapkan aturan pembatasan bentuk disabilitas, hingga tulisan ini naik, tak ada yang membalasnya. Pihak yang telah dihubungi antara lain adalah Juru Bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak, Kepala Biro Humas Kementerian Perindustrian Setia Utama, Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu, hingga Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika