tirto.id - Di Peru, anak petani miskin bernama Pedro Castillo bisa jadi presiden. Di Indonesia, Joko Widodo yang berlatar belakang tukang kayu bisa jadi presiden. Ini membuktikan bahwa pemimpin negara bisa saja berlatar belakang apa pun. Tapi juga patut dicatat: Castillo dan Jokowi tetap makan bangku sekolah tinggi. Castillo mendapat gelar sarjana pendidikan dan magister psikologi pendidikan di Universitas César Vallejo, sedangkan Jokowi menyandang gelar sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menjadi presiden (dan wakil presiden) memang harus memenuhi sejumlah syarat, dan pekerjaan orang tua, diri sendiri, atau tingkat ekonomi tidak termasuk di dalamya. Tapi tidak dengan tingkat pendidikan. Di Indonesia, menurut Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008, satu dari 18 syarat yang harus dipenuhi calon presiden dan wakil presiden adalah “berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.”
Namun syarat yang satu ini lebih temporer dibanding yang lain (misalnya bertakwa dan berstatus WNI sejak lahir). Biasanya ada saja fraksi di DPR yang menginginkan perubahan. Menjelang Pemilu 2014, misalnya, Ketua Badan Legislasi DPR kala itu, Ignatius Mulyono, mengaku ada partai yang ingin agar pendidikan presiden minimal sarjana. Kendati tak mengungkap nama partai tersebut, PAN, PDIP, dan Partai Demokrat termasuk yang secara terbuka menyatakan tidak setuju.
Keributan serupa muncul dua tahun menjelang Pemilu 2009. Ketika itu yang terlibat bukan lagi antarfraksi di legislatif, melainkan pemerintah dengan DPR. Departemen Dalam Negeri ingin calon presiden dan wakil presiden berpendidikan minimal strata 1. Usul ini ditolak berbagai partai. Meski ada undang-undang baru, tetap saja latar pendidikan hanya sampai tingkat SMA/sederajat.
Perdebatan soal tingkat pendidikan presiden dan wakil presiden dapat dilacak sejak sebelum Pemilu 2004. Denny JA dan Frans Surdiasis dalam buku berjudulPartai Politik pun Berguguran (2006) menulis pembahasan tingkat pendidikan presiden ini berakar dari Partai Golkar. Merekalah yang mau tingkat pendidikan presiden dan wakil presiden minimal sarjana.
Waktu pembahasan undang-undang, Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan juga peserta konvensi calon presiden partai tersebut tengah tersangkut kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog senilai Rp 40 miliar. Partai Golkar kemudian melakukan tawar-menawar dengan PDIP. Meski ada partai lain yang juga menolak, PDIP punya kepentingan lebih besar sebab mereka hendak mengusung Megawati Soekarnoputri yang hanya lulusan SMA. Dia pernah mengenyam bangku kuliah, tapi tidak sampai lulus.
Selain itu, faktanya PDIP juga pemilik kursi terbanyak di parlemen sebagai pemenang Pemilu 1999.
“Apa daya, demi menyelamatkan ketua umum partai dan peluang menjadi presiden kembali di tahun 2004, PDIP akan all out menentang persyaratan itu,” tulis Denny dan Frans.
PDIP paham bahwa syarat tingkat pendidikan ini hanyalah akal-akalan Partai Golkar untuk menjegal Megawati. Denny dan Frans menulis, “Ujung dari pertarungan PDIP dan Golkar sudah dapat diduga. Akan terjadi kompromi atau pertukaran dukungan. Atau istilah kerennya di kalangan aktivis, akan terjadi ‘dagang pasal’.” Partai Golkar akan memuluskan jalan Megawati dengan tidak mendukung persyaratan pendidikan sarjana bagi calon presiden, sedangkan PDIP harus mengabaikan larangan pencalonan presiden bagi yang belum dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap. Implikasinya, Akbar bisa tetap jadi calon presiden dan presiden jika terpilih.
Maka terbitlah UU Nomor 23 Tahun 2003 yang menyatakan pendidikan minimal bagi presiden dan wakil presiden adalah SMA dan orang yang “tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” bisa tetap mendaftar dan menjadi kepala negara.
Kompromi politik ini berakhir dengan kegagalan kedua belah pihak. Akbar keok dari Wiranto dalam konvensi Partai Golkar, sedangkan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi juga tidak berhasil menang.
Poin soal pendidikan setingkat SMA bagi calon presiden dan wakil presiden masih bertahan sampai sekarang.
Denny dan Frans, dalam bukunya yang lain, menyatakan PDIP dan Megawati memang punya alasan kuat untuk menolak. Pertama, dahulu banyak aktivis masa pergerakan nasional yang tidak memiliki gelar sarjana tapi punya intelektualitas tinggi. Kedua, orang macam Sri Bintang Pamungkas yang bergelar doktor saja nyatanya hanya menjadi pemimpin partai guram. PDIP, kata Denny dan Frans, mengajukan bukti bahwa “jenjang pendidikan pemimpin partai tidak berjalan lurus dengan kesuksesan partai itu dalam mendapatkan dukungan politik.”
Tingkat pendidikan sarjana hanya penting untuk menjaring ilmuwan atau rektor, bukan presiden. PDIP berargumen, yang terpenting bagi calon presiden adalah moral dan kenegarawanannya.
Relasi Pendidikan-Kemampuan Memimpin
Perdebatan serupa pernah terjadi di negara demokrasi terbesar, Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Ketika itu konteksnya adalah majunya Scott Walker, Gubernur negara bagian Wisconsin, dalam Pilpres 2016. Tidak ada yang melarang Walker–yang hanya lulusan SMA–maju dalam kompetisi, apalagi ia adalah anggota Partai Republikan yang justru punya basis pendukung dari kalangan nonsarjana.
Kendati tak ada aturan hukum yang membatasinya, Walker akhirnya menarik diri. Dalam salah satu survei, Walker tidak berhasil meraih dukungan pemilih secara optimal. Pemenang tiga kali berturut-turut Pemilu Gubernur Wisconsin ini harus puas dengan perolehan suara yang tidak sampai satu persen.
Beda dengan Indonesia, AS punya pengalaman panjang yang membuktikan kepala negara tanpa gelar sarjana bisa memimpin dengan baik. Ada kurang lebih 12 presiden AS yang tidak punya gelar sarjana, termasuk Presiden pertama George Washington dan Presiden ke-16 Abraham Lincoln. Presiden AS terakhir yang tak menyelesaikan perkuliahan adalah Harry Truman yang memimpin pada 1945-1953.
Pertanyaan apakah lulusan sarjana punya kemampuan memimpin lebih baik pernah disampaikan Presiden ke-28 AS, Woodrow Wilson. Dia berspekulasi bagaimana jika Lincoln mengenyam pendidikan perkuliahan modern. “Apakah Lincoln akan menjadi lebih baik dalam memimpin negeri?” Kolumnis Bloomberg, Albert R. Hunt,menyatakan sebagian sejarawan menilai Lincoln adalah salah satu presiden terhebat sepanjang sejarah tanpa perlu menempuh pendidikan tinggi. “Pendahulunya, James Buchanan, punya gelar sarjana (cukup langka di masa itu), tapi dia justru dianggap sebagai salah satu yang paling buruk.”
Josefina Erikson dan Cecilia Josefsson mencoba mencari korelasi antara latar belakang pendidikan legislator Swedia dengan kinerjanya di parlemen. Dalam penelitian bertajuk “Does Higher Education Matter for MPs in their Parliamentary Work? Evidence from the Swedish Parliament” (2019), Erikson dan Josefsson menarik kesimpulan, “Tidak ada relasi yang jelas antara tingginya tingkat pendidikan dan efektivitas kerja-kerja internal termasuk kemampuan legislator dalam memengaruhi partai mengambil kebijakan.” Keduanya menduga ini disebabkan karena mereka yang tidak punya gelar sarjana juga memperoleh pendidikan ‘akademik’ dari jalur alternatif.
Tapi dari segi ekonomi, Timothy Besley, Jose G. Montalvo, dan Marta Reynal-Querol dalam artikel berjudul “Do Educated Leaders Matter?” (2011) menemukan hasil yang sedikit berbeda. Ketiganya mengambil sampel lebih dari 1.000 pemimpin berbagai negara dari 1875-2004. Parameter yang dipakai Besley, dkk. untuk mendeskripsikan “pemimpin berpendidikan” adalah mereka yang sudah lulus program pascasarjana atau strata 2. Mereka yang hanya punya gelar sarjana atau SMA masuk dalam kategori “kurang berpendidikan”.
Salah satu temuannya menunjukkan negara yang ditinggal oleh pemimpin dengan latar belakang pendidikan tinggi punya pertumbuhan lebih baik. “Kami menemukan bukti-bukti yang mendukung analisis kami [bahwa pemimpin negara berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi negara tersebut],” catat Besley, dkk.
Masih Relevan?
Menyambut Pemilu 2024, perdebatan soal batas pendidikan calon presiden dan wakil presiden mungkin akan muncul lagi. Dalam draf yang didapat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada November 2020, persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden harus “berpendidikan paling rendah lulusan pendidikan tinggi atau yang sederajat.” Ini juga menjadi syarat bagi seluruh kepala daerah: gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakilnya. Syarat juga berlaku bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD kabupaten/kota.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menemukan dari 205,36 juta penduduk usia 15 tahun ke atas, 39,59 juta di antaranya punya latar belakang pendidikan SMA. Jika peraturan tersebut berlaku, sebanyak inilah orang-orang yang tak lagi punya kesempatan menjadi orang nomor satu di republik.
Sejarah membuktikan peluang lulusan SMA menjadi kepala negara memang sangat kecil. Sepanjang Reformasi, belum ada presiden berlatar belakang SMA kecuali Megawati. Itu pun dengan catatan awalnya dia tidak dipilih sebagai presiden, melainkan wakil presiden. Megawati baru menjadi presiden ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dimakzulkan dari kekuasaannya.
Dilansir Kompas, mantan Ketua Umum Partai Hanura dan salah satu capres pemilu 2004 dan 2009 Wiranto bahkan sangat yakin dengan itu. “Capres Indonesia minimal sarjana. Bagaimana mungkin lulusan SMA mampu cepat mencerna, mampu menghadapi tantangan global?" kata Wiranto 2013 silam. "Kalau benar-benar bisa, saya akan sujud tiga kali.”
Sementara di level legislatif, anggota DPR periode 2019-2024 yang mengenyam pendidikan sampai SMA hanya sebanyak 39 orang.
Namun, tentu peluang itu tetap ada sepanjang regulasi memungkinkannya.
Pertanyaannya, apakah PDIP akan bersikap sama seperti belasan tahun lalu, menolaknya mentah-mentah, mengingat Megawati kemungkinan tidak akan lagi jadi calon presiden?
Editor: Rio Apinino