tirto.id - Bila Anda pergi ke Kampung Warung Kaleng, sekitar 30 menit dari terminal Kota Bogor, Anda menjumpai permukiman padat penduduk, jalan tikus berkelok-kelok yang hanya cukup untuk orang berpapasan, di tengah kebanyakan warga setempat yang bekerja serabutan.
Kampung ini dikenal sebagai tempat mukim sementara para pencari suaka. Disebut sementara, sebab banyak dari mereka masih berharap ada negara ketiga yang menerima mereka sebagai warga negara baru. Meski begitu, mereka bisa tinggal di sana selama bertahun-tahun.
Anda mungkin berjumpa dengan Muhammad Alsif, pria 35 tahun asal Kabul, Afganistan, yang Selasa sore lalu tengah tiduran di rumah kontrakan. Alsif salah satu pencari suaka yang sudah empat tahun tinggal di Kampung Kaleng. Perawakannya tinggi besar, kulitnya pucat, kepalanya sedikit botak.
Rumah yang disewa Alsif hanya ada dua kamar dan dihuni tiga orang. Sehelai kasur dibentangkan di ruang tamu, tepat di depan meja teve. Di dekatnya sebuah jendela menghadap hamparan sawah.
Bagi Alsif, waktu bisa begitu cepat bila ia mengingat sudah empat Ramadan ia lewati di salah satu kampung di Kecamatan Cisarua itu. Waktu juga bisa begitu lambat saat ia kangen keluarganya di Kabul.
“Sudah empat tahun di sini, di rumah ini,” kata Alsif. Dahinya mengernyit, lalu jari tangannya menghitung. “Satu ... dua ... tiga ... empat. Iya, sudah empat tahun.” Ia meyakinkan diri, lalu mukanya meringis.
Bahasa Indonesia Alsif sudah lumayan lancar. Dibanding para pencari suaka lain, Alsif lebih luwes berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Ketika kolega lain hanya geleng-geleng kepala saat diajak mengobrol, Alsif bisa lancar bicara. Ismail, misalnya, pencari suaka asal Afganistan, cuma bisa mengangguk-angguk dan geleng kepala.
“Sedikit-sedikit bisa. Tidak banyak,” ujar Alsif.
Menurut Haji Dedy, orang yang dianggap tokoh masyarakat dan ketua rukun warga setempat, Alsif dianggap cukup bisa berbaur dengan warga lokal. Alsif beberapa kali ikut pengajian dan turut melayat tetangga, ujar Haji Dedy. Relasi sosial ini berbeda dari kebanyakan pencari suaka lain yang lebih tertutup, yang banyak tinggal di Kampung Warung Kaleng. Mereka lebih sering tinggal di rumah dan hanya keluar untuk kepentingan belanja buat kebutuhan sehari-hari.
“Saya puasa. Kalau berbuka, pernah sama Pak Haji,” tutur Alsif, yang memang pernah ikut buka puasa bersama warga di masjid atas undangan Haji Dedy.
Bagi Alsif, tinggal jauh dari keluarga adalah perkara rumit, apalagi di negara pengungsian yang asing. Namun, apa daya, itu harus dijalaninya.
Perang di negaranya membuat hidup dia dan keluarganya berdekatan dengan maut. Kabar terbaru, misalnya, pada 3 Juni kemarin, 20 orang terbunuh akibat tiga bom bunuh diri saat salat jenazah di kampung halamannya. Sebelumnya bom bunuh diri meledak di dekat Kedutaan Jerman di ibu kota Afganistan itu. Sebanyak 90 orang meninggal dunia dan 400 orang luka-luka. Negara Islam Irak dan Syam alias ISIS, kelompok Salafi ekstremis yang bercita-cita mengusung negara khilafah. mengklaim bertanggung jawab atas ledakan itu.
Hari-hari yang dihabiskan Alsif selama empat tahun hanya untuk menunggu kabar, kapan ia bisa mendapatkan negara suaka. Jika sudah mendapatkan suaka, pikirnya, ia akan mengajak keluarganya meninggalkan Afganistan sesegera mungkin. Harapan ini terus ia semai, betapapun masa yang dinantikannya ini tak pernah ia tahu.
“Belum tahu kapan," ujarnya. "Ke mana juga belum tahu."
Sesekali, bila kangen sudah tak bisa dibendung, ia menelepon keluarganya. Kerinduan itu besar, tetapi ia harus mengakrabi kenyataan yang serba terbatas.
Selama hidupnya di Indonesia, ia mengandalkan kiriman dari bapaknya. Uang ini dipakai buat membayar kontrakan sebesar Rp1,5 juta per bulan, biaya makan, dan kebutuhan komunikasi serta transportasi. Semuanya bersumber dari bapaknya.
“Kalau mau kerja, saya tidak punya izin untuk kerja. Jadi tidak bisa. Karena itu saya di rumah saja,” ujarnya.
Alsif tidak memiliki kegiatan rutin selain belajar bahasa Inggris pada hari Senin hingga Jumat. Kelas ini diadakan oleh Yayasan Jesuit Refugee Service, sebuah lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk pengungsi dan pencari suaka sejak 1980. Kelas itu diadakan di Hotel Kenanga, pusat belajar bagi pengungsi, terletak di dekat Taman Safari. Pengajarnya pun dari sesama pengungsi buat mengisi hari-hari mereka yang memang dilarang bekerja sesuai hukum internasional.
Namun, pada bulan puasa seperti saat ini, kelas bahasa inggris itu libur. Selama sebelas hari puasa, Alsif hanya menghabiskan waktu di dalam rumah.
“Tidak ada kegiatan, cuma di rumah. Kalau ada teman, biasa ngobrol, tapi sekarang sedang pergi semua. Ada tiga orang yang tinggal di sini, tapi satu teman sudah pindah ke Jakarta. Jadi tinggal berdua,” katanya.
Saat waktu berbuka puasa tiba, biasanya Alsif hanya menyantap susu dan kurma. Makanan dan minuman itu adalah favoritnya. Sejak masih di Afganistan, susu dan kurma tak pernah absen di meja makan keluarga. Rasa susu dan kurma sama saja. Yang berbeda, selama empat tahun terakhir, Alsif menyantapnya sendirian. Ia menunduk ketika mengingat keluarganya.
“Keluarga saya kecil, hanya empat orang. Bapak, Ibu, adik perempuan, dan saya.” Ia tersenyum. “Mereka akan ke sini, tapi belum tahu kapan.”
===========
Keterangan foto: Sejumlah pengungsi asal Afghanistan dan Sudan yang mencari suaka terpaksa tidur di pinggir jalan di depan Kantor Imigrasi Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (4/5). ANTARA FOTO/FB Anggoro
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam