tirto.id - Segala yang tampak di sepanjang Jalan Raya Puncak KM 84 mengesankan sebuah permukiman dari Arab. Salon, toko parfum, agen travel, swalayan, tempat penukaran uang, hingga restoran dan bahkan warung sate kambing—mayoritas menandai namanya dengan aksara Arab.
Nama daerah ini tersohor sebagai Warung Kaleng. Ia terletak di sebuah desa bernama Tugu Utara di Kecamatan Cisarua. Banyak orang mengenalnya sebagai "kampung Arab" di kawasan Puncak Bogor lantaran jadi magnet utama para turis asal Arab Saudi ke Indonesia. Saban musim libur, sepanjang Juli hingga Agustus, turis-turis berparas Arab ini membanjiri lokasi wisata Puncak.
Mereka berseliweran sepanjang jalan, keluar-masuk toko, menukar uang atau menuju agen travel, dan tak jarang menunjukkan kesan dermawan.
“Mereka kadang sambil teriak-teriak dan mengeluarkan kepala (dari dalam mobil), terkadang mereka melempar uang di setiap persimpangan jalan untuk anak-anak kecil,” kata Widdy, seorang warga desa.
Dahlia, seorang pegawai agen travel, menuturkan bahwa musim liburan pelancong Timur Tengah dimulai selepas hari raya Idulfitri hingga lebaran haji. Biasanya, seminggu setelah lebaran, para pelancong mulai berdatangan ke kawasan Puncak, khususnya ke Warung Kaleng.
Kebanyakan mereka berasal dari Arab Saudi dan sisanya dari jazirah Arab seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Yaman, serta beberapa negara Afrika Utara seperti Mesir, Aljazair, Tunisia, dan Maroko.
Indikasi kawasan ini dibanjiri pelancong dari Timur Tengah, kata Dahlia, vila-vila dan hotel-hotel dipenuhi mereka. Agen rental mobil tentu kecipratan rezeki. Mereka menerima banyak pesanan. Para turis biasanya akan berlibur hingga sebulan.
“Kalau lagi ramai kaya tahun lalu, semua vila dan hotel penuh dipesan mereka semua,” ujar Dahlia.
Mengubah Kawasan Puncak
Menurut Haji Dedi, tokoh masyarakat Desa Tugu Utara, keramaian Cisarua sebagai kawasan pelancong Arab dimulai sejak 1991.
“Tadinya cuma satu-dua orang saja. Segelintir. Tahun 1991 langsung banyak,” katanya. Sejak saat itu para pelancong ini berdatangan untuk liburan di Cisarua. “Lalu masuk investor-investor bikin vila.”
Itu mengubah kawasan bersuhu dingin tersebut. Orang mendirikan rumah-rumah wisata dan hotel. Tetapi warga setempat juga dapat pemasukan dari bisnis turisme tersebut. Sisi lain, banyak yang menyebut kawasan Puncak di Cisarua dengan stigma sebagai lokasi kawin kontrak antara pria Arab dengan perempuan setempat.
Ade, staf kantor desa, menyayangkan bahwa stigma macam itu masih berembus. Padahal, klaimnya, praktik macam itu sudah lama ditinggalkan.
Magnet Cisarua sebagai lokasi wisata turis Arab, bagaimanapun, telah bikin banyak warga belajar bahasa Arab. “Hampir semua di sini bisa bahasa Arab, sedikit-sedikit,” ujar Haji Dedy. Sebagian dari mereka akan bekerja sebagai sopir maupun juru masak bagi para turis ini di kala musim liburan.
Kini tak cuma Cisarua sebagai lokasi wisata para pelancong asal Arab. Ia melebar hingga ke kawasan Cipanas di Cianjur, perbatasan kabupatan Bogor. Tipologinya serupa: restoran, toko, vila, dan hotel berdiri.
“Di sana akan penuh setelah Warung Kaleng ramai lebih dulu,” kata Haji Dedy.
Surga Para Pengungsi
Tak hanya jadi lokasi liburan pelancong Timur Tengah, Cisarua tampaknya tempat nyaman bagi para pengungsi dan pencari suaka selagi mereka menunggu negara ketiga. Di kampung-kampung dan desa sepanjang Kecamatan Cisarua, para pengungsi itu tinggal secara mandiri dan hidup berkelompok.
Di pusat belajar para pengungsi di Kampung Batu Layang, dekat Hotel Kenanga, para pengungsi saban hari berkumpul. Mereka belajar bahasa Inggris sebagai persiapan jika sewaktu-waktu mendapat panggilan wawancara di Kantor Komisioner PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk ditempatkan di negara tujuan.
Para migran ini menyewa rumah-rumah di lokasi setempat. Ketika kami mendatangi tempat itu, puluhan wanita berparas Arab tengah mengadakan pengajian. Mereka berkumpul di rumah sewa salah satu pengungsi, tepat di belakang Hotel Kenanga. Pembawaan mereka santun, tetapi bahasa memang jadi salah satu kendala bagi mereka untuk bersosialisasi.
Muhammad Alsif, seorang pencari suaka dari Afganistan yang tinggal di rumah kontrakan di Warung Kaleng, berkata senang tinggal di Cisarua. Selain karena pemandangannya yang indah dan udaranya sejuk, kebanyakan pengungsi juga senang dengan lingkungannya. Warga sekitar pun ramah terhadap para pengungsi.
Alsif lumayan lancar berbahasa Indonesia. Ia sudah tinggal di sini selama empat tahun. Ia mengangkat kedua tangannya dan melihat ke arah jendela. Terlihat di kejauhan Gunung Gede Pangrango. "Ya, saya suka pemandangannya," ujar Alsif.
- Baca feature soal hari-hari yang dilewati Muhammad Alsif: Kisah Migran dari Kabul, Menanti Buka Puasa dan Negara Suaka
Febi Yonesta, koordinator SUAKA, sebuah jaringan masyarakat sipil yang bekerja untuk perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, menuturkan bahwa di antara banyak tempat para pengungsi, Cisarua merupakan lokasi paling aman untuk sementara waktu bagi para pencari suaka dari negara konflik.
Di Cisarua, ujar Febi, para pengungsi jauh lebih diterima kehadirannya oleh warga. Setidaknya itu bisa dilihat sejak Cisarua menjadi salah satu lokasi rumah penampungan Organisasi Internasional untuk Kaum Migran (IOM).
Meski penampungan IOM kini sudah pindah ke kawasan Tangerang Selatan, tetapi sejauh ini belum pernah terjadi gesekan sengit antara warga dan pengungsi di Cisarua.
“Cisarua adalah tempat paling aman, karena warga juga menerima keberadaan pengungsi,” tegas Febi melalui telepon.
Lars Stenger dari Yayasan Jesuit Refugee Service Indonesia, lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk pengungsi dan pencari suaka sejak 1980, menuturkan bahwa organisasinya turut mendampingi para pengungsi di Cisarua sejak 2010.
Perhatiannya dikhususkan kepada para pengungsi yang kekurangan makanan serta mengalami sakit. Saat ini, kata Stenger, JRS Indonesia mendampingi 99 pencari suaka dan pengungsi yang paling rentan di Cisarua.
"Dan salah satu Pusat Belajar yang kami datangi merupakan pusat bimbingan belajar Bahasa Inggris dan Indonesia agar para pengungsi bisa berkomunikasi dengan warga di Cisarua," ujar Stenger.
Ia mengatakan warga Cisarua bisa menerima kehadiran para pengungsi untuk sementara tinggal di desa mereka.
“Jawa Barat menjadi satu opsi untuk mereka hidup dalam penantian proses lanjut,” ujarnya lewat surel.
“Warga menerima mereka dengan baik. Dan banyak yang senang atas kontribusi pendapatan dari pengungsi yang menyewa kamar dan belanja di pasar,” tambah Stenger.
===========
Keterangan foto: Para imigran asal Timur Tengah belajar bersama di Cisarua Refugee Learning Center. FOTO/Cisarua Refugee Learning Center
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam