Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Franca Viola dan Sejarah Hukum Pemerkosaan

Salah satu perlawanan paling berarti dalam membongkar ketidakadilan bagi korban perkosaan ini terjadi di Italia pada 1965.

Kisah Franca Viola dan Sejarah Hukum Pemerkosaan
Header Mozaik Perlawanan Korban Pemerkosaan. tirto.id/Fuad

tirto.id - “Misalkan seorang laki-laki tertangkap basah selagi ia memerkosa seorang gadis yang belum bertunangan. Dalam hal itu ia harus membayar kepada ayah gadis itu mas kawin seharga lima puluh uang perak. Gadis itu harus menjadi istrinya karena ia dipaksa bersetubuh dan selama hidupnya ia tak boleh diceraikan.”

Kalimat itu adalah petikan dari naskah Ulangan ayat 22 dalam kitab Perjanjian Lama versi King James yang berisi segala aturan yang berkaitan dengan perkara seksual. Di zaman invasi Barbarian, sekitar 200 tahun Sebelum Masehi hingga Abad Pertengahan, kesetaraan gender memang masih asing dalam kehidupan masyarakat Romawi. Belum ada aturan resmi yang seluruhnya mengutamakan kepentingan perempuan.

Persis ketika seorang bayi perempuan lahir, nasibnya sudah ditetapkan untuk menjadi istri atau bahkan salah satu istri dari laki-laki yang kelak melamarnya. Keadaan ini membuat posisi tawar kaum perempuan sangat lemah dan rentan akan berbagai tindak kriminal, seperti pelecehan verbal hingga pemerkosaan.

Menyadari keadaan itu, pada abad 1 SM, pemerintah Romawi yang cukup visioner dalam bidang ilmu hukum mengesahkan aturan yang menyatakan bahwa pemerkosaan adalah tindak kriminal publik. Namun, aturan itu jauh berbeda dengan konsep modern dan masih sangat longgar. Aturan itu juga sama sekali tidak mempertimbangkan perlindungan terhadap hak-hak kemanusiaan bagi perempuan, melainkan menitikberatkan pada pelanggaran atas hak milik keluarga korban.

Salah satu contohnya ketika korban perkosaan adalah seorang budak, maka hukuman kriminal tidak berlaku. Hal itu bisa terjadi karena status budak tidak dianggap sebagai manusia, melainkan sebagai properti milik tuannya.

Di Eropa hingga Abad Pertengahan, sebagian besar pemerkosaan dipandang sebagai masalah pribadi antar keluarga. Dalam hal ini, keluarga korban akan menuntut kompensasi berupa kawin paksa sebagai solusinya. Perlakuan itu perlahan berubah saat memasuki era modern, ketika pemerkosaan mulai dipandang sebagai kejahatan terhadap hak-hak individu seseorang.

Pemerkosaan sebagai bentuk pelanggaran terhadap otonomi pribadi dan integritas tubuh punya kompleksitas tinggi. Sebagai tindakan, pemerkosaan ditimbang secara berbeda-beda di mata sistem hukum yang berlaku di seluruh dunia. Seiring waktu, sikap masyarakat terhadap pemerkosaan dan undang-undang yang mengaturnya pun berubah, sering kali perubahan itu mencerminkan perubahan budaya, politik, dan sosial masyarakatnya yang lebih luas.

Kasus Zafran Bibi di Pakistan, misalnya, menunjukkan betapa lemahnya hukum dalam melindungi korban pemerkosaan. Bibi berjalan ke kantor polisi di desa Kerri Sheikhan, jauh di lembah perbatasan Barat Laut Pakistan, dan menceritakan bagaimana ia diperkosa.

Tes kesehatan dijalankan, saksi diinterogasi, dan persidangan digelar. Namun sistem hukum Pakistan yang kuno, yang merupakan perpaduan antara aturan sekuler dan Islam, tidak memberikan banyak perlindungan bagi perempuan.

Karena terbukti berhubungan seksual dengan laki-laki yang bukan suaminya hingga hamil dan melahirkan seorang bayi, Bibi dijatuhi hukuman rajam sampai mati pada 2002. Hukuman ini diberikan pengadilan karena Bibi tak bisa membuktikan bahwa ia diperkosa.

Sejak 1979, Pakistan memang menganut aturan hukum pidana Islam yang disebut Hudood Ordinance yang mengatur tiga kriminal besar: pencurian, zina, dan konsumsi alkohol. Dalam praktiknya, perzinaan mencapai lebih dari 80 persen penggunaan aturan ini.

Laporan yang disusun oleh National Commission on Status of Women (NCSW) pada 2003 menemukan bahwa 80 persen perempuan dalam penjara Pakistan kala itu merupakan korban perkosaan yang gagal membuktikan ketiadaan persetujuannya, sehingga mereka dihukum atas dasar zina. Hudood Ordinance baru direvisi pada 2006 meski sangat terbatas pada tuntutan pembuktian lebih lanjut dan tidak langsung berujung pada hukuman rajam.

Simbol Perlawanan Modern

Resistensi perempuan melawan hukum pemerkosaan yang tak adil jarang mendapat perhatian dari masyarakat terutama di lingkungan sosial yang patriarkis. Padahal, kasus serupa yang dialami Zafran Bibi terjadi di banyak tempat. Bahkan, pelaku pemerkosaan seringkali punya motif terselubung yang membuat mereka dengan sengaja melakukan pemerkosaan.

Seringkali, tindak pemerkosaan itu sejak awal bertujuan untuk “memiliki” korbannya.

“Anggapan bahwa persetubuhan menentukan kepemilikan perempuan oleh laki-laki masih umum dalam pemikiran kontemporer,” kata Diana Russell dalam bukunya Rape in Marriage (1990:247).

Salah satu perlawanan paling berarti dalam membongkar ketidakadilan semacam ini terjadi di Italia pada 1965. Di usia yang baru 17 tahun, Franca Viola, perempuan kelahiran Sisilia, diculik oleh mantan tunangannya dan beberapa kawan. Filippo Melodia, si penculik, menahan Viola lebih dari tujuh hari. Dalam penyekapan itu, Viola diperkosa.

Ketika mendapat kesempatan bebas dari penyekapan, Viola memutuskan untuk menolak tradisi kolot masyarakatnya untuk menikahi pemerkosa demi memulihkan kehormatan keluarganya. Dengan dukungan keluarga, Viola mengambil langkah berani dengan menuntut ke pengadilan.

Infografik Mozaik Perlawanan Korban Pemerkosaan

Infografik Mozaik Perlawanan Korban Pemerkosaan. tirto.id/Fuad

Selama persidangan, Melodia dan teman-temannya mencoba menyampaikan pembelaan dengan menuduh Viola sebagai perempuan tak bermoral. Taktik ini kerap digunakan untuk meringankan tuduhan terhadap pemerkosa dengan merusak reputasi baik korbannya. Namun, dalam proses persidangan yang diliput secara luas oleh media massa itu, Melodia tak bisa berkutik. Pengadilan menemukan bukti-bukti kekerasan dan pemerkosaan yang berujung pada hukuman 11 tahun penjara.

Keputusan Viola merupakan batu loncatan signifikan dalam sejarah kasus pemerkosaan dan kriminalitas Italia karena ia sekaligus menjadi perempuan Italia pertama yang menolak rehabilitasi pernikahan setelah diperkosa.

Dalam sejarah Italia, pemahaman modern tentang pemerkosaan dari sisi medis, sosial, dan lain-lain masih terus berproses. Momentum penting dalam kasus Viola membuat masyarakat Italia menyadari perlunya reformasi dalam sistem hukum mereka. Pada 1981, untuk menutup kemungkinan lolosnya pelaku pemerkosaan dari jerat hukum, pemerintah Italia akhirnya secara resmi menghapuskan aturan rehabilitasi pernikahan pada korban dan pelaku pemerkosaan.

Kemajuan yang dibuat dalam kasus Franca Viola masih menyisakan banyak kelonggaran dalam mewujudkan keadilan. Isu-isu seperti pemerkosaan terhadap pasangan legal, tidak adanya upaya melaporkan, dan lain-lain, masih menjadi beban dalam sistem hukum negara itu.

Tonggak kemajuan penting lainnya baru terjadi pada 1996 ketika pemerkosaan di Italia tidak lagi dianggap semata sebagai kejahatan moral terhadap kehormatan keluarga, melainkan menjadi tindak pidana terhadap kebebasan pribadi, yang menekankan hak dan otonomi individu.

Hingga kini, Franca Viola dikenang sebagai pelopor hak-hak perempuan di Italia. Penolakannya untuk tunduk pada norma budaya yang menindas dan perjuangannya untuk keadilan membuka jalan bagi reformasi hukum dan menantang pandangan patriarki yang mengakar mengenai peran dan hak-hak perempuan.

Baca juga artikel terkait PEMERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Hukum
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Nuran Wibisono