tirto.id - Pengusaha nasional Ir. Ciputra wafat pada tanggal 27 November 2019, tepat hari ini setahun lalu, di RS Gleneagles Hospital Singapore dalam usia 88 tahun. Chairman sekaligus Founder Ciputra Group ini meninggalkan jejak sejarah yang panjang selama hidupnya, termasuk kesukaannya terhadap seni lukis.
Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan pada 24 Agustus 1931 di Parigi, Sulawesi Tengah, Ciputra mengalami masa-masa sulit sewaktu kecil. Ayahnya ditangkap polisi militer Jepang pada 1943 dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda.
Namun, berbagai pengalaman pahit itulah yang kemudian membentuk mental Ciputra hingga menjadi salah satu pengusaha paling sukses di Indonesia, terutama dalam bidang properti. Selain Ciputra Group, ia juga memiliki Jaya Group, Metropolitan Group, Pondok Indah Group, dan Jaya Ancol.
Di luar aktivisnya sebagai pebisnis, sosok Ciputra ternyata juga menyukai seni, khususnya seni lukis, selain dikenal pula sebagai filantropi. Ia dikenal dekat dengan sejumlah pelukis maestro tanah air macam Hendra Gunawan, Basoeki Abdullah, Affandi, hingga S.
.Persahabatan Ciputra dengan Hendra Gunawan
Salah satu pelukis kenamaan nasional yang paling dikagumi oleh Ciputra adalah Hendra Gunawan. Ciputra mengoleksi lebih dari 100 lukisan karya seniman lukis kelahiran Bandung ini.
Ciputra pertama kali mengenal Hendra Gunawan pada 1978 di Pasar Seni Ancol. Dari sekadar kenalan antara kolektor dan pelukis, hubungan itu lalu kian rekat sebagai kawan. Ciputra tak segan menemui langsung Hendra di studionya saat sang pelukis tak bisa ke mana-mana karena sakit.
“Sering pula mereka berbicara lewat telepon dengan hubungan interlokal. Namun tak jarang dengan korespondensi atau surat-menyurat,” tulis Agus Dermawan dalam Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi (2018).
Banyak hal jadi bahan pembicaraan mereka. Mulai dari soal profesi, perkembangan seni, permuseuman, rencana pameran, hingga negosiasi harga. Dalam beberapa dokumentasi surat-menyurat di antara keduanya, tampak dua orang beda profesi ini saling akrab dan lugas.
“Ketika saya mendapat surat Hendra, semua pekerjaan saya sisihkan. Semua amplop dokumen di meja saya singkirkan. Surat Hendra dulu,” tutur Ciputra sebagaimana dikutip Agus Dermawan dalam bukunya.
Juru Damai Tiga Pelukis Kondang
Andil Ciputra bukan hanya sebagai kolektor lukisan. Ia juga berjasa dalam mendamaikan kebekuan hubungan antara tiga pelukis kondang yakni Basoeki Abdullah, Affandi, dan S. Sudjojono, yang sempat terlibat perang dingin gara-gara beda ideologi seni sejak era 1940-an.
Pada 1985, Ciputra mencoba mengajak ketiga maestro lukis tanah air itu untuk ikut pameran yang dinamainya “Tiga Maestro Menguak Takdir”. Ciputra khusus menyediakan Galeri Pasar Seni di Taman Impian Jaya Ancol demi pameran itu.
Lantas, bagaimana taktik Ciputra untuk mendamaikan Basoeki Abdullah, Affandi, dan S. Sudjojono?
“Sebenarnya ada kisah di balik itu,” kenang Ciputra dikutip dari buku Ciputra The Entrepreneuer (2019) yang disusun Alberthiene Endah. “Saat itu, hubungan ketiganya kurang harmonis. Mereka mengkritisi aliran lukisan.”
“Karena tajamnya perang kritik itu, saya kemudian mengundang ketiganya untuk melukis bersama,” imbuhnya.
Caranya, seperti diungkapkan kembali oleh Agus Dermawan dalam buku Basoeki Abdullah Sang Hanoman Keloyongan (2015), Ciputra menyediakan satu kanvas untuk dilukis bersama-sama. Sudjojono dilukis Basoeki. Affandi dilukis Sudjojono. Basoeki dilukis oleh Affandi.
“Unik sekali, sekaligus mengharukan. Hasilnya saya pamerkan di ruang tamu saya. Lukisan bersejarah,” kenang Ciputra.
Sebagai penggagas perdamaian itu, Ciputra juga tak lupa dilukis. Ia memilih dilukis oleh Basoeki Abdullah yang memang dikenal sebagai maestro lukis potret. “Agar semakin ganteng dan tidak meletot-meletot,” seloroh Ciputra kala itu.
Ciputra memang sangat meresapi arti seni, bahkan dalam aktivitasnya sebagai pengusaha, sehingga ia berupaya dekat dengan para seniman yang dikaguminya.
“Pada diri seniman, saya mendapatkan getaran kejujuran rasa. Begitu murni dan militan. Jiwa seperti itu menyeimbangkan diri saya, terlebih di dunia bisnis yang saya tekuni. Kadang, rasa seni yang murni hilang ditelan oleh perhitungan bisnis,” ujar Ciputra.
Ia menambahkan, “Di hampir semua proyek berlabel Ciputra, saya bisa pastikan ada getaran seni yang saya alirkan di antara perhitungan-perhitungan bisnis. Seni juga membantu saya menajamkan intuisi."
“Sebetulnya, saya tidak akan pernah seutuhnya menjadi pebisnis murni karena di dalam diri saya mengalir jiwa seni yang bebas,” tutur Ciputra.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 November 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Iswara N Raditya & Irfan Teguh Pribadi