Menuju konten utama

Kidung Etnosia: dari Gunungkidul Membumikan Orkestra Campursari

Kidung etnosia tidak hanya terpaku pada satu genre saja, alih-alih mengoplos pop, keroncong, campursari, hingga dangdut.

Kidung Etnosia: dari Gunungkidul Membumikan Orkestra Campursari
String section from kidung etnosia. Instagram/kidungetnosia

tirto.id - Gunungkidul, sebuah kabupaten yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, pernah melahirkan seorang musikus legendaris nan karismatik bernama Manthous alias Anto Sugiarto. Ia salah satu ikon sekaligus pencetus genre musik campursari, tentu saja dengan kepiawaiannya meracik berbagai genre ke dalam karyanya.

Manthous melegenda sejak mendirikan sebuah kelompok musik Campursari Gunung Kidul (CSGK) Maju Lancar pada 1993. Meski telah meninggal pada 2012 lalu, lagu-lagu miliknya, yang dibalut lewat lirik bahasa Jawa, masih diminati hingga saat ini. Hal itu bisa dilihat dari karya-karyanya di Youtube yang sudah ditonton hingga jutaan kali, bahkan ada yang sudah lebih dari lima juta kali.

Manthous tentu tidak tergantikan. Ia adalah legenda di zamannya. Tapi, Gunungkidul selalu punya cara sendiri untuk melahirkan fenomena baru dalam industri musik, minimal mencuri perhatian. Sebagai contoh, bila para musikus dangdut koplo memainkan musik seperti pakem atau pada umumnya, maka satu kelompok musik dari Gunungkidul memainkan dengan cara yang berbeda, yakni memasukkan unsur orkestrasi ke dalam aransemen lagu seperti campur sari. Kelompok itu bernama Kidung Etnosia.

Dimotori seorang pemuda bernama Agustinus Bambang Prasetyo, kiprahnya Kidung Etnosia barangkali jauh berbeda dengan rekam jejak Manthous yang menciptakan banyak lagu. Perannya dalam musik mungkin bisa dianalogikan seperti Addie MS di Twilite Orchestra atau seperti Andi Rianto di Magenta Orchestra, meskipun berbeda pasar dan pendengar.

Menjual musik orkestra ini memang susah-susah gampang, seperti yang dikatakan oleh Robert Flanagan, seorang profesor ekonomi di Stanford University. Ia bilang, musik orkestra memang menghasilkan produk yang unik tetapi sering dihadapkan dengan kondisi finansial yang tidak layak.

"Mereka semua mengalami defisit operasi, dalam arti bahwa uang yang mereka peroleh dari konser, rekaman, dan sebagainya tidak mencakup pengeluaran mereka," terang Flanagan kepada ABC.

Flanagan mengatakan, ada banyak alasan yang mendasari itu semua, tetapi yang utama adalah biaya yang sangat mahal untuk operasional musik orkestra dan hampir tidak mungkin diturunkan mengingat jumlah personel yang cukup banyak.

Ia mencontohkan, biasanya kelompok orkestra memiliki 45-100 anggota. Di Australia, misalnya, setiap karyawan mendapatkan pensiun, biaya kesehatan dan hak-hak lainnya. Biaya tersebut sulit untuk dikurangi atau dibuat lebih efisien. Kemudian, ada pula biaya tetap untuk menyewa tempat, staf manajemen, konduktor hingga solois.

Di sisi lain, permintaan atau undangan terhadap musik orkestra juga menurun. "Terus menurun sesuai dengan angka terbaru yang dikumpulkan untuk orkestra simfoni AS," kata Profesor Flanagan.

Tapi, sepertinya Bambang punya cara lain untuk 'membumikan' musik orkestra ke Gunungkidul dan daerah-daerah lain, yang kurang akrab dengan musik barat itu. Sebab, mereka tidak hanya terpaku pada satu genre saja, melainkan turut memainkan beberapa genre musik seperti pop, keroncong, campursari, dangdut, hingga congdut (keroncong dangdut).

Infografik Kidung Etnosa

Infografik Kidung Etnosia. tirto.id/Sabit

Bambang barangkali tidak pernah menyangka kelompok musik yang ia pimpin bisa pergi ke panggung-panggung musik di berbagai daerah. Sebab, Bambang bilang, pada awal berdirinya di tahun 2010, Kidung Etnosia hanyalah diisi anak-anak Mudika (muda-mudi Katolik) yang sering menjadi pengiring musik Gereja. Mayoritas dari mereka adalah anak dari Desa Pulutan,Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta.

"Semuanya dari Wonosari, Gunungkidul, sebagian besar dari Desa Pulutan, dan desa tetangga saja, masih dalam lingkup kabupaten Gunungkidul," kata Bambang, Kamis (28/11/2019) kepada Tirto.

Bambang bilang, peran Gereja dalam perkembangan musik Kidung Etnosia berangkat dari musik-musik liturgi yang mengandung unsur inkulturasi musik tradisi, etnik Indonesia, keroncong hingga musik barat.

"Baru tahun 2013 mulai berkolaborasi dengan musik barat (orkestra), dalam konser perayaan Paskah di aula Gereja. Menyajikan opening musik klasik, kolaborasi koor, gamelan dan tarian," ungkap Bambang.

Awalnya kelompok musik ini hanya memainkan beberapa genre musik seperti gamelan, keroncong dan musik etnik nusantara. Berbeda dengan kebanyakan kelompok orkestra lain, kata Bambang, Kidung Etnosia tidak memiliki pelatih musik, melainkan belajar bersama.

Sebab, orang-orang yang tergabung di dalamnya, lanjut Bambang, hanya dua orang yang berlatar sebagai lulusan sekolah musik, sementara yang lainnya ada yang berlatar SMA dan tidak mengenyam sekolah musik.

"Hanya dalam setiap latihan saya mengenalkan aturan-aturan dalam bermusik, mengenalkan istilah atau simbol-simbol dalam musik dan mengenalkan not balok mulai dari dasar."

Belakangan, Kidung Etnosia lebih sering berkolaborasi bersama Didi Kempot, penyanyi campursari yang dikenal dengan julukan "Godfather of Broken Heart". Kehadiran kelompok musik ini semakin membuat panggung-panggung Didi Kempot menjadi lebih menarik. Kolaborasi Kidung bersama Lord Didi dimulai ketika tahun 2017 dalam acara Evolution SMA 1 Wonosari.

Bambang mengaku perkembangan Kidung Etnosia tidak lepas dari kontribusi seorang militer bernama Mayor Sunaryanto yang berperan sebagai pengasuh sekaligus pemilik studio untuk mereka berlatih. Ada dua tempat yang biasa dipakai Kidung Etnosia latihan, pertama di Playen Wonosari, kedua di Studio Mayor Sunaryanto.

"Disiplin dalam bermusik, tetap meningkatkan kualitas individu dan kelompok serta mengkolaborasikan instrumen barat dengan timur," ujar Bambang soal keberhasilan mereka membumikan orkestra di Gunung Kidul.

Di sisi lain, mereka juga terus berinovasi dan membuka wawasan baik untuk group dan masyarakat sekitar "karena belum populernya musik barat (orkestra) di daerah Wonosari, Gunungkidul." Walhasil, dalam sebulan Kidung Orkestra bisa tampil tujuh sampai sepuluh kali, tidak hanya di Gunung Kidul, tetapi juga daerah lain.

Baca juga artikel terkait MUSIKUS atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Windu Jusuf