tirto.id - Beberapa tahun lalu, saya pernah mempekerjakan seorang ART yang datang dari desa agak jauh dari daerah saya. Usianya jauh lebih tua dari saya dan kami memanggilnya Simbok. Setiap pagi, Simbok tidak sarapan, tapi hanya meminum segelas teh manis panas dan camilan ringan seperti tempe goreng atau ketela rebus.
Baru setelah pekerjaan pagi selesai dan kami sekeluarga sibuk berkegiatan di luar, Simbok menikmati "sarapan"-nya sambil bersantai sekitar jam 10.
"Nggak biasa makan pagi, Mbak," jawabnya ketika suatu hari saya tanya karena penasaran.
Ini sebenarnya tidak aneh. Toh kebutuhan akan sarapan di pagi hari memang sebuah konstruksi budaya. Hadirnya sarapan setiap pagi, terjadi karena adanya kegiatan perkantoran dan sekolah yang mengharuskan kita semua siap beraktivitas pada pukul 7 pagi. Agar dapat tahan bekerja hingga jam istirahat di pukul 12 siang, sarapan besar dan bergizi lengkap sepertinya harus dilakukan sebelum berangkat beraktivitas.
Namun di pedesaan, para petani memiliki kebiasaan makan yang berbeda. Simbok terbiasa dengan hal ini karena kedua orangtuanya petani. Sarapan tidak terjadi sebelum jam 7, melainkan justru di sawah sekitar jam 10-an.
"Biasanya jam 6 minum teh panas sama makan camilan berat. Terus berangkat ke ladang," jelasnya. "Sekitar jam sepuluh baru istirahat sambil sarapan, nanti dzuhur pulang untuk rolasan."
Karena kebutuhan ini, pada masa lalu banyak makanan yang tercipta sebagai bekal praktis untuk "sarapan" di ladang. Kewat dan meniran adalah dua di antara makanan yang biasa dibawa ke ladang.
Kewat pertama kali saya dengar sekitar satu tahun yang lalu. Mencari informasinya di internet sungguh sangat sulit, karena tak banyak yang menulis tentangnya. Ini membuat saya penasaran dan mencarinya hingga Gunungkidul, daerah yang konon jadi asal muasal makanan ini.
Menurut informasi yang saya dapatkan, kewat merupakan makanan khas yang dulu banyak terdapat di Gunungkidul. Selain di kabupaten ini, jarang sekali orang yang mengenal kewat. Mungkin karena tidak populer itulah sekarang kewat sudah sulit ditemukan.
"Dijualnya cuma pagi, jam sembilan sudah habis," ujar seorang penjual makanan di Pasar Argosari, Gunungkidul.
Pasar ini termasuk salah satu pasar gede yang terdapat di Gunungkidul, sehingga apapun yang kita cari dari kabupaten ini, harusnya ada di sana.
Kewat merupakan makanan berbahan dasar tepung beras. Penampilan dan rasanya sangat sederhana. Kewat, atau juga disebut kewet oleh masyarakat setempat, memiliki tekstur yang padat dan rasa yang tawar. Ia dibungkus dengan daun pisang, dan berbentuk segitiga.
Meski tak dapat dilacak asal-muasal pastinya, kewat telah lama menjadi bagian dari denyut hidup masyarakat Gunungkidul. Ini terutama di masa ketika bertani dan meladang masih menjadi mata pencaharian mayoritas warganya.
Di masa itu, kewat bukan sekedar jajanan di pasar. Kewat lebih sering digunakan sebagai bekal untuk dibawa bekerja ke sawah atau ladang. Bentuknya yang tipis dan tidak terlalu besar membuat makanan ini mudah dibawa-bawa. Lebih lagi, terbuat dari tepung beras dengan tekstur yang padat, kewat memberikan rasa kenyang yang lama dan menjadi sumber kalori untuk tenaga saat bekerja.
Di Pasar Argosari, pagi itu saya hampir kehabisan kewat, padahal jam baru menunjukkan pukul 7 pagi. Rupanya hanya ada beberapa penjual dan salah satunya sedang tidak berjualan karena ada hajatan.
Di penjual jajanan hari itu, kewat dijual dalam dua varian: warna putih dan warna hijau. Tapi rupanya tak ada perbedaan dari rasa maupun harga. Cara memakannya pun tidak ada aturan khusus.
"Biasanya ya dimakan langsung saja, Mbak," ujar penjualnya. Tanpa sampingan, tanpa cocolan. "Tapi terserah pembeli juga," tambahnya.
Kini kewat memang masih dibawa sebagai bekal ke sawah atau ladang. Namun, jumlahnya sudah lebih sedikit. Kewat bersaing dengan aneka jajanan lain, atau bahkan dengan nasi dan tumisan di rantang-rantang plastik.
Meski begitu, menurut cerita penjual jajanan tadi, masyarakat masih tetap mengonsumsi kewat di luar kegiatan meladang tadi. Kewat kerap dimakan di rumah sebagai sarapan, juga sebagai suguhan pada tamu yang datang ke rumah.
Ini jadi mengingatkan saya pada meniran yang ada di sekitaran Yogyakarta dan Jawa Tengah. Makanan ini biasanya terbuat dari beras padi yang kecil/patah (menir), yang dibuat seperti arem-arem. Bedanya, meniran di masa lalu tidak ada isinya, tapi memiliki cita rasa yang gurih berkat campuran santan di dalamnya. Ibu bercerita bahwa pada masa beliau kecil, meniran ini juga kerap menjadi bekal ke sawah.
Namun seiring perkembangan zaman, hal yang berbeda terjadi pada meniran. Tak seperti kewat yang hampir hilang, di masa kini meniran masih cukup mudah ditemukan. Masih banyak pula yang membuat meniran di rumah.
Dalam perkembangannya, meniran mengalami inovasi. Ia tak hanya hadir polosan, tapi juga sekarang dikemas dengan memiliki isian. Di daerah Kaliurang, misalnya, meniran dengan isian parutan kelapa masih mudah ditemukan. Meniran isi daging (ayam ataupun sapi) juga masih dijual di restoran-restoran yang mengusung konsep tradisional Jawa. Sementara itu, meski jarang muncul kadang kita bisa menemukan meniran berisi abon.
Meniran kerap dikonsumsi sebagai sarapan yang ringan atau camilan. Seringkali, para pembelinya menikmati meniran polos atau yang berisi kelapa dengan lauk seperti gorengan tempe, tahu, ataupun telur. Tapi meniran dengan isian daging, biasanya dinikmati tanpa lauk. Terkadang hanya sesendok sambal, untuk memperkaya rasa yang sudah ada.
Itu pula yang saya nikmati di Kaliuran, di suatu pagi yang cerah. Sebungkus meniran hangat, disantap dengan tempe mendoan yang baru saja matang dan segelas wedang uwuh. Tentu saja, sambil memandangi indahnya Gunung Merapi.
Miroso!
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono