tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menilai, lambatnya penanganan perkara korupsi Garuda Indonesia akibat kejahatan transnasional. Ia pun menganalogikan kasus korupsi Garuda selayaknya korupsi KTP elektronik (e-KTP).
"Kejahatan transnational kan seperti e-KTP. E-KTP aja kan dua tahun. Tapi ya mudah-mudahan Garuda bisa kita segerakan," kata Agus di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Agus menerangkan, mereka tidak memiliki batas waktu dalam penanganan kasus Garuda. Namun, mantan Kepala LKPP itu menyebut, KPK terus memonitor perkara dan berusaha menyelesaikan perkara tersebut.
Menurut Agus, penyidikan KPK belum mengarah kepada kebijakan BUMN. Saat ini, lembaga antirasuah masih mencari hubungan antara pembelinya, lokasi uangnya, serta pihak yang menerima keuntungan dari uang itu.
"Jadi bisa saja kemana-mana setelah kita menaikkan, kita kan mengikuti uang itu kemana," kata Agus.
Hingga saat ini, KPK masih belum melimpahkan perkara dugaan korupsi pengadaan pesawat dan 50 mesin pesawat airbus ke tahap penuntutan. Sejumlah pejabat Garuda Indonesia, mantan pejabat, hingga swasta sudah dipanggil KPK untuk melengkapi kasus tersebut.
KPK baru menetapkan dua orang tersangka yakni Emirsyah Satar selaku Dirut PT Garuda Indonesia dan Direktur Utama Mugi Rekso Abadi (MRA) sekaligus Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd, Soetikno Soedarjo.
Dalam kasus ini, Emirsyah diduga menerima uang suap sebesar 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau sekitar Rp20 miliar. Suap ditransfer secara bertahap dari Rolls-Royce melalui perantara Soetikno.
Selain itu, mantan Dirut PT Garuda Indonesia itu diduga menerima pemberian hingga Rp26 miliar dalam pengadaan mesin pesawat Rolls-Royce dan pesawat airbus.
Kasus ini pun menjadi perhatian dunia internasional lantaran diduga dilakukan lintas negara. KPK bekerja sama dengan Serious Fraud Office (SFO), Inggris, dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura untuk mengungkap kasus ini.
Atas perbuatannya, Emirsyah Satar disangkakan melanggar Pasal 12 a atau Pasal 12 b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sedangkan Soetikno sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yandri Daniel Damaledo